MENJAMIN KEHIDUPAN YANG SEHAT DAN MEMPROMOSIKAN KESEJAHTERAAN BAGI SEMUA PENDUDUK DALAM SEGALA USIA

Kesehatan dan Hak Asasi Manusia Dasar

Kesehatan adalah hal yang mendasar bagi setiap manusia untuk mewujudkan potensi maksimalnya. Kesehatan tidak tergantikan bagi kehidupan manusia sehingga diakui sebagai hak asasi manusia.

 Hak atas kesehatan ditegaskan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration on Human RIghts) Pasal 25 paragraf (1), dan ICSR Pasal 12.

Hak atas kesehatan juga diakui di dalam UUD 1945, Pasal 28H ayat (1), yaitu “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Hak atas kesehatan juga diakui di dalam UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, Pasal 4, yaitu ‘Setiap orang berhak atas kesehatan.”

Untuk memberikan pemahaman lebih mendalam tentang ketentuan mengenai hak atas kesehatan di dalam ICESR, Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (CESCR) menerbitkan Komentar Umum No. 14 tentang Hak atas Standar Kesehatan Tertinggi yang Wajar (Highest Attainable Standard of Health).[1] Menurut CESCR, hak atas kesehatan tidak hanya mencakup layanan kesehatan yang tepat waktu dan layak, namun juga hal-hal mendasar yang mempengaruhi kesehatan, seperti “akses kepada air yang aman dan layak minum, sanitasi yang layak, pasokan pangan yang aman dan layak, gizi dan perumahan layak, kondisi pekerjaan dan lingkungan yang sehat, serta akses kepada pendidikan dan informasi terkait kesehatan, termasuk kesehatan seksual dan reproduktif.”[2]

Lebih lanjut, meskipun pelaksanaan hak atas kesehatan bergantung pada kapasitas dan sumber daya setiap Negara Anggota, ia setidaknya harus mencakup sejumlah elemen dasar, yaitu ketersediaan, aksesibilitas, keberterimaan (acceptability) dan kualitas.

Indonesia telah melaksanakan sistem jaminan kesehatan universal sejak 2014, dan pada Maret 2016, program jaminan kesehatan nasional (BPJS) telah diikuti oleh lebih dari 163 juta orang, dengan 63% premi peserta yang disubsidi.[3] Pada 2016, Pemerintah Indonesia telah mengalokasikan 5% anggaran kesehatan dari APBN.[4] Namun, ketersediaan fasilitas perawatan kesehatan dan tenaga kesehatan berkualitas masih belum cukup, sehingga belum memungkinkan banyak orang untuk menikmati hak kesehatan mereka sepenuhnya, khususnya mereka yang miskin dan tinggal di wilayah terpencil.

Saat ini terdapat 1.725 rumah sakit umum dan 503 rumah sakit khusus, yang mayoritasnya adalah rumah sakit ibu dan anak, yang beroperasi di 34 provinsi di seluruh Indonesia, dengan proporsi tempat tidur rumah sakit 1,12 per 1000 orang.[5] Selain itu, hanya terdapat 9.908 dari 81.626 desa/kelurahan yang memiliki puskesmas, yang tersebar tidak merata antar provinsi, dengan jumlah tertinggi berada di Jawa Barat (1.074 puskesmas) dan terendah di Kalimantan Utara (50 puskesmas).[6] Indonesia juga tertinggal dalam rata-rata WHO untuk rasio dokter dan perawat, yaitu sebesar 2,28 dokter dan perawat per 1.000 orang, sementara Indonesia hanya memiliki 0,2 dokter dan 1,4 perawat/bidan per 1.000 orang.

Dalam laporan terakhir yang diterbitkan WHO pada 2014, Indonesia menunjukkan bahwa 75,3% total belanja kesehatan berasal dari belanja kantong sendiri (out-of-pocket/OOP), yang artinya mayoritas rumah tangga tidak terlindungi dari kesulitan keuangan ketika mengakses layanan kesehatan. Persentase OOP bahkan lebih tinggi dibandingkan rata-rata belanja total negara Asia Tenggara lainnya, yang sebesar 40,8%.[7]

[1] CESCR, General Comment No. 34 The Right to the Highest Attainable Standard of Health, E/C.12/2000/4, 2000, tersedia di: http://www.ohchr.org/Documents/Issues/Women/WRGS/Health/GC14.pdf

[2] CESCR, General Comment No. 34, paragraph 11.

[3] BPJS, Jumlah Total Peserta BPJS Maret 2016, tersedia di: http://infobpjs.net/jumlah-total-peserta-bpjs-maret-2016/

[4] Ministry of Finance, Informasi APBN 2016, page: 18, tersedia di: http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/bibfinal.pdf

[5] Ministry of Health, Indonesia Health Profile 2013, page: 35, tersedia di: http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/Indonesia%20Health%20Profile%202013%20-%20v2%20untuk%20web.pdf

[6] BPS, Jumlah Desa/Kelurahan Yang Memiliki Sarana Kesehatan Menurut Provinsi, 2014, tersedia di: https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/935

[7] WHO, World Health Statistic 2016: Monitoring Health for the SDGs, page 17, tersedia di: http://www.who.int/gho/publications/world_health_statistics/2016/en/

SDG global bertujuan mencapai 12 target terkait kesehatan. Dari 12 target tersebut, Pemerintah Indonesia memandang delapan di antaranya sejalan dengan RPJMN 2015-2019.

Target Global Target Nasional Indikator Nasional
3.1 Pada 2030, mengurangi rasio kematian ibu global menjadi kurang dari 70 per 100.000 kelahiran hidup. 1.  Peningkatan status kesehatan perempuan dan anak;

2.  Peningkatan akses dan kualitas perawatan kesehatan bagi perempuan dan reproduksi;

a.  Penurunan jumlah kematian ibu menjadi di bawah 250 per 100 ribu kelahiran pada 2019 (2015: 306).

b.  Peningkatan persentase kelahiran di fasilitas kesehatan hingga 85% pada 2019 (2015: 75%);

c.  Peningkatan persentase kelahiran yang dibantu tenaga kesehatan terampil hingga 95% (2015: 91,51%).

 

3.2 Pada 2030, mengakhiri kematian yang dapat dicegah pada bayi baru lahir dan anak balita, dan semua negara bertujuan mengurangi kematian neonatal hingga setidaknya 12 per 1.000 kelahiran hidup dan kematian balita hingga setidaknya 25 per 1.000 kelahiran hidup. 1.   Peningkatan status kesehatan perempuan dan anak-anak; b.    Penurunan tingkat mortalitas hingga 24 per 1.000 kelahiran pada 2019 (2012: 32);

c.    Penurunan tingkat kematian neonatal hingga 14 per 1.000 kelahiran pada 2019 (2012: 19);

d.    Peningkatan persentase kunjungan pertama neonatal (KN1) hingga 90% pada 2019 (2015: 75%);

e.    Peningkatan persentase imunisasi dasar komprehensif bagi bayi di kabupaten/kota hingga 80% atau 95% pada 2019 (2015: 71,2%).

3.3 Pada 2030, mengakhiri epidemi AIDS, tuberkulosis, malaria dan penyakit tropis terabaikan lainnya, serta melawan hepatitis, penyakit akibat air, dan penyakit menular lainnya. 1.  Peningkatan kendali atas penyakit menular dan tidak menular serta peningkatan kesehatan lingkungan; b.   Penurunan prevalensi HIV menjadi <0,5% pada 2019 (2014:0,46%);

c.   Penurunan prevalensi Tuberkulosis (TB) menjadi 245 per 100.000 populasi pada 2019 (2013: 297);

d.   Peningkatan jumlah kabupaten/kota dengan pemberantasan malaria hingga 300 pada 2019 (2013: 200);

e.   Peningkatan prevalensi kabupaten/kota yang menerapkan deteksi awal Hepatitis B untuk kelompok berisiko hingga 80% pada 2019 (2013: 2,5%);

f.     Peningkatan jumlah provinsi dengan pemberantasan lepra hingga 34 provinsi pada 2019 (2013:20);

g.   Peningkatan jumlah kabupaten/kota dengan filariasis hingga 35 pada 2019.

3.4 Pada 2030, mengurangi sebesar sepertiga kematian prematur akibat penyakit tidak menular melalui pencegahan dan perawatan serta mempromosikan kesehatan dan kesejahteraan rohani. 1.  Peningkatan kendali atas penyakit menular dan tidak menular serta peningkatan kesehatan lingkungan;

2.  Peningkatan kualitas dan akses kepada fasilitas kesehatan mental dan rehabilitasi pecandu obat-obatan.

a.   Penurunan persentase perokok di kalangan populasi ≤18 tahun hingga 5,4% (2015:7,2%);

b.   Penurunan prevalensi hipertensi hingga 24,3% pada 2019 (2015:25,8%);

c.   Tetapnya prevalensi obesitas di kalangan populasi di atas 18 tahun hingga 15,5% pada 2019 (2013: 15,4%);

d.   Persentase perempuan antara usia 50-50 tahun yang melakukan deteksi dini kanker servik dan payudara;

e.   Peningkatan jumlah kabupaten/kota yang memiliki puskesmas yang memberikan layanan kesehatan mental hingga 280 pada 2019 (2014: 50);

f.     Peningkatan persentase rumah sakit umum regional yang memberikan layanan kesehatan mental/psikiatris hingga 60% pada 2019 (2014: 13,5%);

g.   Peningkatan proporsi perawatan bagi rumah tangga dengan anggota yang mengalami penyakit mental hingga 61,8% pada 2019 (2014: 38,2%).

3.5 Memperkuat pencegahan dan perawatan penyalahguna obat, termasuk penyalahgunaan obat narkotika dan alkohol. 1.  Peningkatan ketersediaan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan zat terlarang.

2.  Peningkatan implementasi P4GN;

a.   Peningkatan jumlah korban penyalahgunaan zat terlarang yang menerima rehabilitasi sosial di fasilitas layanan terstandarisasi hingga 210 pada 2019 (2015: 200) dan fasilitas luar hingga 4.319 pada 2019 (2015: 1.464).

b.   Peningkatan jumlah Fasilitas Rehabilitasi Sosial maju/terfasilitasi untuk Korban Obat-Obatan hingga 85 pada 2019 (2015: 75).

c. Peningkatan jumlah relawan aktif yang melakukan upaya pencegahan terhadap penyalahgunaan obat hingga 5.302 pada 2019 (2015:1.732);

d. Peningkatan persentase fasilitas kesehatan yang memberikan layanan untuk penyalahguna zat aktif dengan kewajiban melapor.

3.6 Pada 2020, menurunkan jumlah kematian dan korban luka akibat kecelakaan lalu lintas hingga setengahnya. Penurunan rasio kematian akibat kecelakaan lalu lintas hingga 11,22% pada 2019 (2015: – )
3.7 Pada 2030, menjamin akses universal kepada layanan perawatan kesehatan seksual dan reproduktif, termasuk untuk KB, informasi dan pendidikan, serta integrasi kesehatan reproduktif ke dalam strategi dan program nasional. 1.  Peningkatan prevalensi penggunaan kontrasepsi (semua metode);

2.  Peningkatan prevalensi penggunaan kontrasepsi modern jangka panjang;

3.  Penurunan usia melahirkan remaja antara usia 15-19 tahun (tingkat kesuburan berdasarkan umur/ASFR).

a. Penurunan tingkat kesuburan total hingga 2,3 pada 2019 (2012: 2,60;

b. Peningkatan prevalensi penggunaan kontrasepsi (CPR) seluruh metode hingga 66% pada 2019 (2015: 60,9%);

c. Peningkatan penggunaan kontrasepsi modern jangka panjang hingga 23,5% pada 2019 (2015: 22,5%);

d. Penurunan jumlah kehamilan remaja usia 15-10 tahun (tingkat kesuburan berdasarkan umur/ASFR) menjadi 38 pada 2019 (2015: 48).

3.8 Mencapai pencakupan kesehatan universal, termasuk perlindungan risiko keuangan, akses kepada layanan perawatan kesehatan dasar berkualitas, serta akses kepada obat dan vaksin dasar yang aman, efektif dan berkualitas bagi semua. 1.  Peningkatan perlindungan keuangan;

2.  Peningkatan penyetaraan dan kualitas layanan kesehatan dan  sumber daya kesehatan;

3.  Peningkatan perlindungan keuangan, termasuk pengeluaran kesehatan akibat bencana (catastrophe).

a.  Penurunan kebutuhan fasilitas perawatan kesehatan yang belum terpenuhi hingga 1% pada 2019 (2015: 7%);

b. Peningkatan jangkauan JKN hingga 100% pada 2019 (2015: 60%).

 

3.9 Pada 2030, mengurangi jumlah kematian dan penyakit akibat zat kimia berbahaya, polusi dan kontaminasi udara, air dan tanah secara signifikan. Tidak tersedia Tidak tersedia.
3.a Memperkuat pelaksanaan Konvensi Kerangka WHO tentang Kontrol Tembakau (WHO Framework Convention on Tobacco Control) di seluruh negara sesuai kebutuhan. 1.  Peningkatan kendali atas penyakit menular dan tidak menular serta peningkatan kesehatan lingkungan;

 

a.  Prevalensi perokok di kalangan populasi di bawah 18 tahun menjadi 5,4% pada 2019 (2015: 7,2%);

 

3.b Mendukung penelitian dan pengembangan vaksin dan obat-obatan untuk penyakit menular dan tidak menular yang terutama mempengaruhi negara berkembang, menyediakan akses kepada obat dan vaksin dasar yang terjangkau, sesuai dengan Deklarasi Doha tentang Perjanjian TRIPS dan Kesehatan Masyarakat (Doha Declaration on the TRIPS Agreement and Public Health), yang menegaskan hak negara berkembang untuk menggunakan ketentuan di dalam Perjanjian tentang Aspek terkait Perdagangan dari Hak Kekayaan Intelektual (Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights) terkait fleksibilitas dalam perlindungan kesehatan publik, serta menyediakan akses kepada obat-obatan bagi semua. 1. Memastikan ketersediaan obat dan mutu obat dan makanan a. Peningkatan presentasi ketersediaan obat dan vaksi di Puskesmas sebanyak 9% pada tahun 2019 (2014: 75,5%)
3.c Meningkatkan secara substansial pembiayaan kesehatan serta perekrutan, pengembangan, pelatihan dan retensi/pemeliharaan tenaga kesehatan di negara berkembang, khususnya di negara kurang berkembang dan negara berkembang kepulauan kecil. 1.  Peningkatan penyetaraan dan kualitas layanan kesehatan dan sumber daya kesehatan. Peningkatan jumlah puskesmas yang dilengkapi 5 jenis pekerja kesehatan menjadi 5.600 pada 2019 (2013: 1015).
3.d Memperkuat kapasitas seluruh negara, khususnya negara berkembang, dalam peringatan dini, pengurangan risiko, serta pengelolaan risiko kesehatan nasional maupun global. Tidak tersedia Tidak tersedia.

Terdapat tiga area utama, yaitu ketersediaan, aksesibilitas, dan kualitas sistem perawatan kesehatan, yang perlu diperkuat sesuai dengan target pembangunan nasional Pemerintah Indonesia untuk menjamin kesehatan dan kesejahteraan untuk memenuhi jaminan hak atas kesehatan yang layak bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Ketersediaan & Kualitas

Dalam hal perawatan kesehatan primer, Indonesia memiliki banyak puskesmas yang membuat fasilitas perawatan kesehatan dapat diakses 90% populasi, namun ketersediaan pekerja kesehatan dan ranjang rumah sakit masih tidak cukup.[1] Ketidakmerataan dokter dan perawat/bidan sangat jelas antara wilayah pedesaan dan perkotaan,[2] namun tidak ada data yang menunjukkan jumlah pekerja kesehatan di tingkat kecamatan. Data tersebut penting agar dapat menilai secara komprehensif kesenjangan antar wilayah geografis per 1.000 populasi.[3]

[1] World Bank, Indonesia’s Health Sector Review, 2012, page: 16, tersedia di: http://www.worldbank.org/content/dam/Worldbank/document/EAP/Indonesia/HSR-Overview-.pdf

[2] World Bank: http://www.worldbank.org/content/dam/Worldbank/document/EAP/Indonesia/HSR-Overview-.pdf

[3] Setiap kecamatan di Indonesia didiami antara 9.000-45.000 orang.

Aksesibilitas

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, ketersediaan puskesmas sebagai fasilitas kesehatan utama masih sangat terbatsa di tingkat desa/kelurahan, dan hanya mencakup sekitar 12% desa/kelurahan di seluruh Indonesia. Di wilayah yang tidak terlalu padat, jarak antar satu desa dengan desa lain memerlukan berjam-jam, dan berbiaya mahal, sehingga fasilitas perawatan kesehatan tidak mudah diakses secara fisik maupun ekonomi bagi masyarakat di wilayah pedesaan atau terpencil. Karenanya, diperlukan puskesmas dengan fasilitas rawat inap berkualitas di setiap kecamatan[1] untuk memfasilitasi masyarakat untuk mengakses fasilitas perawatan kesehatan yang layak di mana pun mereka berada.

Persyaratan ini sebenarnya telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 75/2014 tentang Puskesmas yang mewajibkan seluruh kecamatan memiliki setidaknya 1 puskesmas. Namun masih belum terdapat data yang menunjukkan jumlah persentase puskesmas di tingkat kecamatan. Karenanya, penting untuk memasukkan indikator yang menunjukkan ketersediaan puskesmas di tingkat kecamatan baik puskesmas rawat inap maupun rawat jalan.

[1] Kecamatan adalah struktur administratif yang terdiri dari 5 kelurahan di perkotaan dan 10 desa di wilayah pedesaan. Lihat pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.19/2008.

Kelompok Rentan

Penyandang disabilitas dapat menghadapi lebih banyak tantangan dalam mengakses fasilitas kesehatan dibandingkan dengan non-disabilitas. Menurut WHO, beban biaya (prohibitive), khususnya terkait layanan kesehatan dan transportasi, adalah tantangan utama bagi penyandang disabilitas untuk mengakses layanan kesehatan.[1] Karenanya, untuk memenuhi hak penyandang disabilitas dalam menikmati standar kesehatan tertinggi yang wajar, penting untuk memastikan bahwa seluruh penyandang disabilitas dicakup dalam asuransi kesehatan, dan agar mereka yang menganggur atau miskin diberikan bantuan subsidi premi (PBI). Lebih lanjut, dalam hal aksesibilitas fisik, penting sekali untuk menyediakan ambulan berjumlah cukup di setiap puskesmas di tingkat kecamatan.

Terkait asuransi kesehatan, masyarakat adat juga merupakan salah satu kalangan yang sering mengalami kesulitan untuk berpartisipasi di dalam program jaminan kesehatan nasional (BPJS). Untuk mendaftar di program BPJS, seseorang harus memiliki identitas hukum seperti Kartu Keluarga (KK) dan KTP, sementara banyak masyarakat adat tidak memiliki identitas hukum, sehingga sulit bagi mereka untuk mendapatkan asuransi kesehatan. Berdasarkan fakta ini, diperlukan intervensi untuk menjamin agar hak kesehatan masyarakat adat tidak diabaikan.

[1] WHO, Disability and Health Fact Sheet, tersedia di: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs352/en/

Berdasarkan analisis kesenjangan di atas, kami mengusulkan dimasukkannya beberapa indikator tambahan untuk memperkuat strategi pembangunan nasional untuk meningkatkan akses seluruh masyarakat Indonesia kepada layanan kesehatan.

Target Nasional Indikator Nasional Usulan Indikator PBHAM
3.1

–    Peningkatan status kesehatan perempuan dan anak;

–    Peningkatan akses dan kualitas layanan kesehatan untuk perempuan dan reproduksi;

 

a.  Penurunan jumlah angka kematian ibu menjadi 306 per 100 ribu kelahiran pada 2019 (2010: 346).

b.  Peningkatan persentase kelahiran di fasilitas kesehatan hingga 85% pada 2019 (2015: 75%);

c.  Peningkatan persentase kelahiran yang dibantu tenaga kesehatan profesional hingga 95% (2015: 91,51%).

–    Persentase desa dengan personil tenaga kesehatan/bidan profesional.
3.4

–    Peningkatan kendali atas penyakit menular dan tidak menular serta peningkatan kesehatan lingkungan;

–    Peningkatan kualitas dan akses kepada fasilitas kesehatan mental dan rehabilitasi obat-obatan.

a.   Penurunan persentase perokok di kalangan populasi ≤18 tahun hingga 5,4% (2015: 7,2%);

b.   Penurunan prevalensi hipertensi hingga 24,3% pada 2019 (2015:25,8%);

c.   Tidak meningkatnya prevalensi obesitas di kalangan populasi di atas 18 tahun hingga 15,5% pada 2019 (2013: 15,4%);

d.   Persentase perempuan berusia 40-50 tahun yang melakukan deteksi dini kanker serviks dan payudara;

e.   Peningkatan jumlah kabupaten/kota yang memiliki puskesmas yang memberikan layanan kesehatan mental hingga 280 pada 2019 (2014:50);

f.     Peningkatan persentase rumah sakit umum daerah yang memberikan layanan kesehatan mental/psikiatris hingga 60% pada 2019 (2014: 13,5%);

g.   Peningkatan proporsi perawatan untuk rumah tangga dengan anggota keluarga berpenyakit mental hingga 61,8% pada 2019 (2014: 38,2%).

–    Proporsi kecamatan yang memiliki tenaga kesehatan mental profesional.
3.7

–    Peningkatan prevalensi penggunaan kontrasepsi (seluruh metode);

–    Peningkatan prevalensi penggunaan kontrasepsi modern jangka-panjang;

–    Penurunan jumlah kehamilan remaja usia 15-19 tahun (tingkat kesuburan berdasarkan umur/ASFR).

a.Penurunan tingkat kesuburan total (RTF) hingga 2,3 pada 2019 (2012: 2,6);b.Peningkatan prevalensi penggunaan kontrasepsi (CPR) pada seluruh metode hingga 66% pada 2019 (2015:60,9%);c.Peningkatan penggunaan kontrasepsi metode modern jangka panjang hingga 23,5% pada 2019 (2015: 22,5%). –    Tersedianya kurikulum nasional tentang pendidikan kesehatan dan hak seksual dan reproduktif (KHSR);

–    Jumlah sekolah yang memberikan/mengintegrasikan pendidikan KHSR (dipisahkan berdasarkan tingkatan sekolah: SD/SMP/SMU).

3.8

–    Peningkatan perlindungan keuangan;

–    Peningkatan penyetaraan dan kualitas layanan kesehatan dan sumber daya kesehatan;

–    Peningkatan perlindungan keuangan, termasuk pengeluaran dadakan akibat bencana (catastrophe) untuk layanan kesehatan.

a.    Penurunan kebutuhan fasilitas kesehatan yang tak terpenuhi hingga 1% pada 2019 (2015:7%).b. Peningkatan cakupan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) hingga 100% pada 2019 (2015:60%). –    Persentase pengeluaran kesehatan dari sumber pribadi (out-of-pocket) oleh peserta JKN;

–    Proporsi penyandang disabilitas dan/atau masyarakat adat tanpa akses kepada fasilitas kesehatan;

–    Proporsi masyarakat adat tanpa asuransi kesehatan.

–    Peningkatan program-program pengarusutamaan pelayanan kesehatan yang berbasiskan prinsip HAM dan non-diskriminatif.

3.9

Tidak tersedia.

 

 

Tidak tersedia.

Karena hak atas kesehatan juga mencakup hak untuk menikmati lingkungan yang baik dan sehat, penting bagi Pemerintah Indonesia untuk mengadopsi Target Global No. 3.9 berikut indikator-indikatornya.
3.c

–    Peningkatan penyetaraan dan kualitas layanan kesehatan dan sumber daya kesehatan.

a.   Peningkatan jumlah puskesmas yang dilengkapi dengan 5 jenis pekerja kesehatan hingga 5.600 pada 2019 (2013: 1015). –    Proporsi kecamatan Yang memiliki puskesmas yang memberikan layanan rawat inap;

–    Proporsi puskesmas dengan layanan ambulan di tingkat kecamatan.

Sumber-sumber data:
–    BPS;
–    Laporan-laporan pengaduan di lembaga-lembaga terkait, yaitu LPSK, Komnas HAM, Komnas Perempuan, KSP, Ombudsman, LBH, dan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang bekerja di sektor kesehatan.

Lembaga-lembaga dan program-program di bawah PBB di Indonesia berkomitmen untuk memainkan peran yang signifikan dalam membantu Pemerintah Indonesia mencapai SDG dengan tiga modalitas utama, yaitu advokasi dan saran kebijakan, pembangunan kapasitas, dan berbagi pengetahuan.

Terkait dengan upaya meningkatkan akses terhadap pelayanan kesehatan, World Health Organization (WHO) merupakan mitra yang kuat untuk pemerintah Indonesia dalam mendukung realisasi pemenuhan hak-hak masyarakat akan kesehatan, baik di tingkat kebijakan maupun implementasi, khususnya di area: pencegahan dan pengendalian penyakit-penyakit menular dan tidak menular; peningkatan kesehatan anak dan remaja; peningkatan kesehatan reproduksi; peningkatan akses tarhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan dukungan Jaminan Kesehatan Universal; dan peningkatan kesiapan, pengawasan, serta tanggapan yang efektif terhadap penyebarluasan penyakit dan kondisi darurat kesehatan masyarakat; serta managemen yang efektif terhadap aspek-aspek kesehatan dalam bencana-bencana kemanusiaan.

UNFPA akan menjadi mitra penting Pemerintah Indonesia untuk berkontribusi terhadap agenda SDG Indonesia khususnya dalam meningkatkan ketersediaan dan penggunaan layanan untuk kesehatan seksual dan reproduksi terpadu, termasuk yang terkait dengan program keluarga berencana, kesehatan ibu, dan HIV, yang responsif terhadap gender dan memenuhi standar hak asasi manusia untuk kualitas pelayanan dan kesetaraan dalam memperoleh akses. Prioritas juga diberikan kepada remaja dengan mempromosikan ketersediaan pendidikan seksualitas yang komprehensif serta pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi.

 

Sumber Lain: