MENGENTASKAN SEGALA BENTUK KEMISKINAN

Kemiskinan dan Hak Asasi Manusia

Kemiskinan adalah salah satu hambatan utama terhadap penegakan hak asasi manusia. Masyarakat yang hidup dalam kemiskinan tidak hanya tercerabut dari hak mereka untuk menikmati standar kehidupan yang layak, namun juga membuat mereka rentan mengalami hambatan penikmatan atas hak-hak asasi manusia lainnya seperti kurangnya akses kepada pendidikan maupun layanan kesehatan. Lebih lanjut, selain penghambatan atas HAM di dalam dimensi sosial-ekonomi, masyarakat miskin juga rentan terabaikan dalam proses partisipasi politik atau pun akses kepada keadilan, yang membuat mereka lebih rentan menjadi korban kekerasan, penegakan hukum sewenang-wenang, penyiksaan, dan pelanggaran berbagai dimensi sipil dan politik hak asasi manusia.[1] Karenanya, terkait dengan target, target 1.1 hingga 1.5 sama pentingnya untuk dicapai oleh semua negara, khususnya bagi negara yang masih memiliki masyarakat yang hidup di ambang garis atau di bawah garis kemiskinan.

Meskipun selama dua puluh tahun terakhir Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang menjadikannya sebagai salah satu negara berpendapatan menengah, Indonesia masih menghadapi ketimpangan dan kemiskinan yang besar. Menurut UNPDF, Indonesia masih berjuang mengatasi berbagai tantangan terkait kemiskinan sebagai berikut:

  • Masih adanya 103 juta atau 43,5 persen populasi Indonesia yang hidup dengan kurang dari USD 2 per hari dan sangat rentan terhadap bencana ekonomi dan lingkungan apapun;
  • 28 juta masyarakat Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan nasional atau di bawah Rp333.034 per bulan,[2] yang kurang lebih setara dengan 86c per hari;
  • Kesenjangan pendapatan meningkat yang ditandai dengan Indeks Gini yang meningkat dari 0,32 pada 1999 menjadi 0,41 pada 2011;
  • Skema perlindungan sosial yang ada tidak terlalu efektif untuk mengentaskan kemiskinan;

Dengan lebih dari separuh populasi hidup dalam kondisi ekonomi rentan, Indonesia sangat perlu menjadikan pengentasan kemiskinan sebagai agenda pembangunan maupun HAM-nya untuk menjamin pemenuhan hak seluruh masyarakat Indonesia atas standar kehidupan yang layak.

[1]  http://www.ohchr.org/EN/Issues/Poverty/Pages/SRExtremePovertyIndex.aspx

[2] Badan Pusat Statistik, Garis Kemiskinan Menurut Provinsi, 2013 – 2015, tersedia di: https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1120.

Terdapat empat dari tujuh target global terkait pengentasan kemiskinan yang dipandang oleh Pemerintah Indonesia sejalan dengan RPJMN 2015-2019. Target-target tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam Rencana Implementasi Nasional SDG.

Table I.a. Daftar target SDG global dan nasional.

Target Global Target Nasional Indikator Nasional
1.1 Pada 2030, mengentaskan kemiskinan ekstrem bagi semua orang di seluruh dunia yang saat ini didefinisikan sebagai kelompok yang hidup dengan kurang dari $1,25 per hari. Tidak tersedia. Tidak tersedia
1.2. Pada 2030, mengurangi setidaknya setengah proporsi laki-laki, perempuan dan anak segala usia yang hidup dalam kemiskinan dalam segala dimensinya menurut definisi nasional. –    Mengurangi tingkat kemiskinan dari 9,5-10% pada 2015, hingga 7-8% pada 2019. Penurunan tingkat kemiskinan, dari 9,5-19% pada 2015, hingga 7-8% pada 2019.
1.3. Menerapkan sistem dan upaya perlindungan sosial yang sesuai di tingkat nasional bagi semua, termasuk standar minimum (ambang bawah), dan pada 2030 menjangkau mayoritas populasi miskin dan rentan. 1. Meningkatkan perlindungan sosial, produktivitas dan pemenuhan hak dasar bagi penduduk kurang mampu

 

2. Meningkatkan akses keluarga miskin dan rentan, termasuk anak-anak, penyandang disabilitas, lansia, dan kelompok marginal kepada pemenuhan kebutuhan dasar

 

3. Meningkatkan jumlah peserta Program Jaminan Sosial Nasional

 

 

Peningkatan persentase kepesertaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (Kartu Indonesia Sehat) dari 60% pada 2015 menjadi 95% pada 2019.
a.    Peningkatan persentase orang tua miskin dan rentan yang menerima bantuan kebutuhan dasar, dari 2,24% pada 2015 menjadi 2,28% pada 2019;

b.    Peningkatan persentase penyandang disabilitas miskin dan rentan yang menerima bantuan kebutuhan dasar, dari 14,48% pada 2015 menjadi 17,12% pada 2019;

c.     Penurunan jumlah rumah tangga miskin yang menerima bantuan tunai bersyarat (PKH), dari tiga juta rumah tangga pada 2015 menjadi 2,8 juta rumah tangga pada 2019.

Peningkatan jumlah kepesertaan SJSN Tenaga Kerja dari 29,5 juta tenaga kerja formal dan 1,3 juta tenaga kerja informal pada 2015 menjadi 62,4 juta dan 3,5 juta pada 2019.
1.4. Pada 2030, menjamin seluruh laki-laki dan perempuan, khususnya dari kalangan miskin dan rentan, memiliki hak setara kepada sumber daya ekonomi dan juga akses kepada layanan dasar, kepemilikan dan kontrol atas tanah dan bsegala entuk properti, warisan, sumber daya alam, teknologi baru dan layanan keuangan yang sesuai, termasuk keuangan mikro (microfinance). 1. Peningkatan cakupan pelayanan dasar, mencakup identitas hokum, sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, infrastruktur dasar, dan sarana ekonomi yang inklusif bagi masyarakat kurang mampu, termasuk penyandang disabilitas, dan lansia. a.   Peningkatan cakupan layanan kelahiran di fasilitas kesehatan dari 75% pada 2015 menjadi 85% pada 2019;

b.   Peningkatan cakupan imunisasi dasar bagi anak antara usia 12-23 bulan menjdai 63% pada 2019;

c.   Peningkatan cakupan penggunaan kontrasepsi bagi perempuan berusia 15-49 tahun, dari 61,3% pada 2015 menjadi 66% pada 2019;

d.   Peningkatan akses kepada air minum aman, dari 60,9% pada 2015 menjadi 100% pada 2019;

e.   Peningkatan akses kepada sanitasi yang layak, dari 60,9% pada 2015 menjadi 100% pada 2019;

f.     Peningkatan jumlah rumah tangga berpendapatan rendah yang mengakses perumahan layak menjadi 18,6 rumah tangga pada 2019.

1.5 Pada 2039, membangun ketahanan masyarakat miskin dan yang berada pada situasi rentan serta mengurangi keterpaparan dan kerentanan mereka terhadap insiden ekstrem terkait iklim serta segala goncangan dan bencana ekonomi, sosial dan lingkungan.

 

1.   Managemen penanggulangan/pengurangan resiko bencana

2.   Terselenggaranya pemberian bantuan kebutuhan dasar untuk korban bencana sosial

3.   Peningkatan akses dan kualitas pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus untuk pendidikan dasar dan menengah bagi anak-anak berkebutuhan khusus (SDLB/SMPLB)

4.   Penyediaan rumah khusus pasca bencana/konflik, maritime dan perbatasan negara

5.   Ketersediaan strategi nasional dan daerah untuk pengurangan resiko bencana

 

a.   Peningkatan jumlah lokasi wilayah pengurangan risiko bencana yang diperkuat, dari 35 wilayah pada 2015 menjadi 39 wilayah pada 2019.

b.   Peningkatan jumlah korban bencana sosial yang menerima bantuan kebutuhan dasar, dari 43 ribu korban pada 2015 menjadi 151 ribu korban pada 2019;

c.    Peningkatan jumlah korban bencana sosial yang menerima perawatan psikososial, dari 21,5 ribu korban pada 2015 menjadi 81,5 ribu korban pada 2019.

d.   Peningkatan jumlah wilayah terdampak bencana alam/sosial yang menerima pendidikan layanan khusus dari 100 pada 2015 menjadi 450 pada 2019.

1.a. Menjamin mobilisasi sumber daya yang signifikan dari berbagai sumber, termasuk melalui peningkatan kerja sama pembangunan, guna memberikan cara yang sesuai dan terprediksi bagi negara berkembang, khususnya negara kurang berkembang, untuk melaksanakan program dan kebijakan untuk mengakhiri kemiskinan dalam segala dimensinya. 1.     Meningkatnya alokasi langsung dari pemerintah untuk program-program pengentasan kemiskinan

2.     Meningkatnya pengeluaran untuk pelayanan-pelayanan pokok (pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial)

1.   Alokasi anggoran untuk program pengentasan kemiskinan di berbagai sector

2.   Prosentase tahunan alokasi anggaran untuk pendidikan di dalam APBN

3.   Prosentase tahunan alokasi anggaran untuk jaminan sosial di dalam APBN

1. b. Menciptakan kerangka kebijakan yang kokoh (sound) di tingkat nasional, regional dan internasional, berdasarkan strategi pembangunan pro-poor dan sensitif gender, untuk mendukung percepatan investasi dalam aksi-aksi pengentasan kemiskinan 1. Tersusunnya kerangka kebijakan dalam penanggulangan kemiskinan, perubahan iklim, pembangunan berkelanjutan, pangan dan nutrisi a.Rencana Aksi Nasional untuk Pengentasan Kemiskinan

b.Rencana Aksi Nasional untuk Pengurangan Efek Rumah Kaca

c. Rencana Aksi Nasional untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

d.Rencana Aksi Nasional untuk Pangan dan Nutrisi

e.Implementasi Keputusan Menteri Kuangan tentang Perencanaan and Anggaran Responsif Gender

Definisi Miskin

Untuk memerangi kemiskinan dan memenuhi hak setiap orang untuk mendapatkan standar kehidupan yang layak bukan hanya sekadar cita-cita program pembangunan, namun lebih penting lagi, ia adalah kewajiban hak asasi manusia yang diemban setiap negara terhadap warganya, khususnya negara-negara yang menjadi peserta Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) seperti Indonesia. Selain kewajiban-kewajiban yang ditetapkan pada Pasal 11 ICESCR untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak setiap orang atas standar hidup yang layak bagi dirinya dan keluarganya, Pemerintah Indonesia juga terikat pada UUD 1945, khususnya Pasal 28C paragraf (1), yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk mengembangkan dirinya sendiri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya…”.

Dari perspektif hak asasi manusia, kemiskinan merupakan ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya[1], dan oleh karena itulah penting untuk mengukur persyaratan minimal yang harus dipenuhi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai dasar untuk menetapkan garis kemiskinan di tingkat nasional.

Biro Pusat Statistik (BPS) memberikan pengukuran untuk ambang batas kemiskinan nasional (GK) serta biaya hidup minimal, namun masih terdapat kesenjangan yang besar antara kedua pengukuran tersebut. Sementara biaya hidup minimal nasional ditetapkan pada Rp1.123.744/bulan (±USD2,9/hari)[2], ambang batas kemiskinan masih ditetapkan di tingkat Rp333.034/bulan (±USD0,85/hari).[3] Meskipun demikian, dalam kenyataannya mereka yang hidup di garis kemiskinan sebenarnya hidup dalam kemiskinan ekstrem, karena mereka berada hampir tiga kali di bawah standar nasional untuk mendapatkan kemampuan dasar mereka. Lebih lanjut, mereka yang hidup dengan di bawah USD2/hari juga hidup dalam kekurangan ekstrem sehingga tidak bisa mencapai kemampuan dasar tersebut.

Untuk mengatasi hal ini, dan agar Pemerintah Indonesia dapat menciptakan hasil yang berdampak luas dalam upaya-upayanya untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia, pemerintah setidaknya harus menggunakan biaya hidup minimal sebagai alat ukur untuk menetapkan garis kemiskinan serta mengidentifikasi populasi miskin dalam target pembangunan nasional.

[1] OHCHR, PRINCIPLES AND GUIDELINES FOR A HUM AN RIGHTS APPROACH TO POVERTY REDUCTION STRATEGIES, paragraph: 30, tersedia di: http://www.ohchr.org/Documents/Publications/PovertyStrategiesen.pdf

[2] BPS, Kebutuhan Hidup Minimum/Layak (Khm/Khl) Selama Sebulan (Rupiah) Menurut Provinsi 2005-2015, tersedia di: https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1212

[3] BPS, Garis Kemiskinan Menurut Provinsi, 2013 – 2015, tersedia di: https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1120

Sistem Perlindungan Sosial

Perlindungan sosial memainkan peranan penting dalam upaya pengurangan kemiskinan karena kebijakan ini memungkinkan para penerima manfaat, yang mayoritas adalah masyarakat miskin, menciptakan penghasilan dan menikmati hak asasi dasar mereka atas standar kehidupan yang layak. ICESCR menjelaskan tentang hak atas perlindungan/jaminan sosial sebagai salah satu hak asasi manusia pada Pasal 9, yaitu “Negara Peserta Perjanjian/Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial.” Lebih lanjut, jaminan atas perlindungan sosial juga ditegaskan dalam UUD 1945, Pasal 28H ayat (3), yaitu “Setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat,” dan juga Pasal 34 ayat (2), yaitu “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu di masyarakat sesuai dengan martabat kemanusiaan.”

Hak atas jaminan sosial/perlindungan sosial didefinisikan oleh Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob) sebagai “hak untuk mengakses dan mempertahankan manfaat, baik dalam bentuk tunai maupun barang, tanpa diskriminasi untuk menjamin perlindungan, antara lain dari (a) kurangnya pendapatan dari kerja akibat penyakit, disabilitas, bersalin, kecelakaan kerja, pengangguran, usia lanjut, atau kematian seorang anggota keluarga; (b) akses tidak terjangkau kepada layanan kesehatan; (c) dukungan keluarga yang tidak mencukupi, khususnya untuk anak dan orang dewasa yang menjadi tanggungan.”

Indonesia menjalankan sistem jaminan sosialnya melalui berbagai kementerian dan lembaga, seperti BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, Kementerian Sosial, Kementerian Agama, dan lain sebagainya. Tidak adanya layanan satu pintu dalam pengelolaan sistem perlindungan sosial telah menciptakan masalah terkait koordinasi dan tumpang-tindih program. Menurut Bappenas, selain kurangnya koordinasi, sistem perlindungan sosial juga menghadapi tantangan lain seperti gagal menjangkau kelompok sasaran sebagaimana harapan, kurangnya anggaran, serta kurangnya mekanisme pendampingan (accompaniment) program yang optimal.[1] UNPDF juga menemukan bahwa skema-skema perlindungan sosial saat ini masih ditarget secara sempit, bersyarat, bernilai rendah, sangat mahal untuk diselenggarakan, dan tidak berdampak positif dalam mengurangi kemiskinan atau kemiskinan anak.[2] Nilai sejumlah program bantuan tunai seperti Program Keluarga Harapan, yang merupakan program bantuan langsung tunai untuk keluarga sangat miskin, hanya memberikan bantuan tunai maksimal sebesar Rp3.700.000 per tahun,[3] yang artinya kurang dari 30% biaya hidup minimal nasional.

Bahkan, meskipun saat ini terdapat 7,2 juta pengangguran, Indonesia tidak memiliki skema tunjangan tenaga kerja untuk menjamin pendapatan dasar bagi pengangguran agar mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka. Isu ini telah diangkat oleh Komite Ekosob dalam Kesimpulan Akhirnya (Concluding Observations) atas laporan awal Pemerintah Indonesia tentang Pelaksanaan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia. Terkait hal ini, Komite Ekosob merekomendasikan Pemerintah Indonesia untuk “Melakukan berbagai upaya untuk membentuk suatu skema asuransi bagi pengangguran.”[4]

Untuk memperkuat sistem perlindungan sosial agar dapat memainkan perannya secara efektif dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia, dan juga agar Pemerintah Indonesia dapat menghormati, melindungi dan memenuhi kewajiban hak asasi manusianya dalam bentuk penyediaan sistem perlindungan sosial yang layak, Pemerintah Indonesia setidaknya wajib mempertimbangkan upaya-upaya berikut:

  • Mengadopsi dan melaksanakan layanan satu pintu untuk program-program perlindungan sosial untuk memfasilitasi masyarakat mengakses sistem perlindungan sosial yang komprehensif, serta meningkatkan koordinasi dan mencegah tumpang-tindih antar program;
  • Meningkatkan jumlah jaminan pendapatan dasar agar sesuai dengan nilai biaya hidup minimal nasional yang ditetapkan, guna melindungi kelompok rentan dari deprivasi ekstrem atas kebutuhan dasar mereka;
  • Mengadopsi kebijakan dan melaksanakan program-program yang memberikan tunjangan pengangguran untuk mencegah masyarakat yang tidak bekerja mengalami deprivasi ekstrem atas kebutuhan dasar mereka.

[1] Bappenas, PERLINDUNGAN SOSIAL DI INDONESIA: TANTANGAN DAN ARAH KE DEPAN, 2014, hal.: 33-37, tersedia di: http://www.bappenas.go.id/index.php/download_file/view/16956/8605/

[2] UNPDF, page17.

[3] TNP2K: http://www.tnp2k.go.id/id/tanya-jawab/klaster-i/program-jaminan-kesehatan-nasional-jkn/

[4] Committee on Economic, Social and Cultural Rights, Concluding Observations on the initial report of Indonesia, E/C.12/IDN/CO/1, 2014, paragraph: 21 (c). Tersedia di: http://tbinternet.ohchr.org/_layouts/TreatyBodyExternal/Countries.aspx?CountryCode=IDN&Lang=EN.

Akses kepada Layanan Dasar dan Kepemilikan Lahan

Akses kepada layanan dasar seperti listrik, sanitasi layak, air bersih dan layak minum, fasilitas kesehatan dan pendidikan yang layak adalah hal yang mendasar bagi setiap rumah tangga agar dapat berfungsi dengan baik. Akses kepada layanan-layanan dasar ini terkait dengan berbagai hak asasi manusia yang dijamin dan ditegaskan di dalam ICESCR, khususnya yang terkait dengan hak atas standar hidup layak (Pasal 11), hak penikmatan standar kesehatan fisik dan mental tertinggi (Pasal 12), dan hak atas pendidikan (Pasal 13). Hak atas layanan dasar juga dinyatakan dalam UUD 1945, khususnya Pasal 28H ayat (1), yaitu “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Selain itu terdapat pula berbagai jaminan konstitusional lainnya terkait hak atas pendidikan yang dinyatakan dalam Pasal 31.

Sejak 2015, mayoritas rumah tangga di Indonesia (97,5%) telah memiliki akses listrik ke rumah mereka, namun masih terdapat 39% rumah tangga yang tidak memiliki akses kepada sumber air yang layak, sementara 38% rumah tangga tidak memiliki akses kepada sanitasi yang layak,[1] sehingga turut menyebabkan 22% populasi masih melakukan BAB sembarangan.[2] Selain itu, saat ini hanya terdapat 34.857 puskesmas/pustu yang melayani 81.626 kelurahan/desa di seluruh Indonesia, yang artinya masih terdapat 57% kelurahan/desa tanpa akses kepada fasilitas kesehatan paling mendasar.

Terkait kepemilikan lahan, meskipun 83% rumah tangga memiliki rumah sendiri, masih terdapat 40% lahan tak bersertifikat di Indonesia akibat rumitnya proses penetapan lahan[3] dan karena 69% lahan dimiliki oleh sekitar 16% dari populasi.[4] Selain itu, terbatasnya informasi terkait rencana dan peraturan tata ruang juga menyulitkan proses registrasi serta meningkatkan risiko penggusuran.[5] Karenanya, jaminan kepemilikan lahan juga amat penting khususnya bagi kalangan miskin, karena lahan tidak hanya memberikan tempat berlindung, namun juga sumber penghidupan bagi mereka.

Terkait hal ini, ada beberapa komponen terkait kepemilikan lahan dan akses kepada layanan dasar yang sejalan dengan tujuan untuk mengentaskan kemiskinan dalam segala bentuknya di Indonesia:

  • Mengadopsi dan melaksanakan kebijakan pertanahan dengan tujuan melindungi kepentingan rumah tangga berpendapatan rendah dan kelompok rentan;
  • Mereformasi peraturan yang ada tentang status dan registrasi lahan untuk menyederhanakan proses, mengurangi biaya pada individu, meningkatkan efisiensi, serta mengurangi penundaan;
  • Meningkatkan cakupan dan kualitas fasilitas kesehatan untuk memberikan akses layanan kesehatan yang lebih baik di setiap kelurahan/desa;
  • Meningkatkan jumlah rumah tangga dengan akses kepada sanitasi layak.

[1] BPS, Indikator Perumahan 1993-2015: https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1537

[2] Lihat UNPDF, page 22.

[3] Minister of Agrarian and Spatial Planning, Sofyan Djalil: http://finance.detik.com/properti/d-3284575/menteri-atr-baru-60-tanah-di-indonesia-yang-bersertifikat

[4] Lihat UN Special Rapporteur on Adequate Housing, paragraph 42.

[5] Lihat UN Special Rapporteur on Adequate Housing, paragraph 46.

Kelompok Rentan

Perempuan/anak, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat sangat rentan mengalami kondisi kemiskinan parah. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa penyandang disabilitas di Indonesia memiliki risiko 30 sampai 50 persen lebih tinggi untuk menjadi miskin dan menganggur dibandingkan non-disabilitas.[1] Karenanya, dalam hal penyediaan perlindungan sosial, penting sekali untuk menjamin pendapatan dasar bagi masyarakat miskin disabilitas yang menganggur agar dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka. Skema yang saat ini ada untuk membantu pendapatan dasar bagi penyandang disabilitas dianggap tidak mencukupi karena hanya memenuhi kurang dari 30% biaya hidup minimal per bulan yang ditetapkan secara nasional.

Layanan dasar juga harus diatur dengan cara yang membuat penyandang disabilitas dapat mengaksesnya sebagaimana orang lain tanpa disabilitas dan sesuai dengan hak penyandang disabilitas atas standar hidup layak dan perlindungan sosial yang ditetapkan dalam Pasal 28 Konvensi Hak Penyandang Disabilitas yang ditandatangani Indonesia. Lebih lanjut, Program Keluarga Harapan (PKH) yang merupakan program bantuan tunai bersyarat, dapat mendeprivasi perempuan miskin yang tinggal di wilayah terpencil yang tidak memiliki akses kepada fasilitas kesehatan akibat persyaratannya yang ketat, yaitu mengharuskan perempuan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan yang ketat selama dan setelah kehamilan.

Terkait kepemilikan lahan, meskipun kepemilikan bersama properti yang dibeli selama masa pernikahan (harta gono-gini) diakui hukum, jumlah tanah yang didaftarkan atas nama bersama masih sangat rendah. DI Jawa misalnya, hanya terdapat 5% tanah yang terdaftar atas nama suami dan istri, sementara 65% sertifikat tanah baru dikeluarkan atas nama laki-laki dan 30% atas nama perempuan, karena kurangnya informasi dan kesadaran dari sisi masyarakat maupun petugas registrasi tentang adanya pilihan pendaftaran bersama.[2] Karenanya, informasi mengenai opsi pendaftaran tanah atas nama bersama harus disebarluaskan dengan seksama, dan diperlukan pula pelatihan rutin bagi para petugas pendaftaran tanah tentang isu ini untuk memperkuat kepemilikan tanah bagi perempuan.

Masyarakat adat adalah salah satu kelompok yang paling rentan yang mengalami risiko kepemilikan lahan. Meskipun sudah ada pengakuan hukum terhadap tanah ulayat, kepemilikan lahan secara bersama tidak bisa didaftarkan, sehingga semakin membuat masyarakat adat enggan mengajukan permohonan sertifikat tanah bersama. Akibatnya, 33.000 desa adat, dengan populasi sekitar 48 juta orang, yang berlokasi di dalam maupun di sekitar hutan (forest estates), dianggap penghuni liar atau ilegal dan berisiko digusur.[3] Karenanya, Pemerintah Indonesia perlu memastikan bahwa kebijakan pertanahan juga memperhatikan perlindungan keamanan lahan masyarakat adat yang menduduki suatu lahan berdasarkan hukum adat.

[1] UNPDF, page: 16-17.

[2] Lihat UN Special Rapporteur on Adequate Housing, paragraph 66.

[3] Lihat UN Special Rapporteur on Adequate Housing, paragraph 48-49.

Berdasarkan analisis kesenjangan di atas, kami mengusulkan beberapa indikator tambahan berikut untuk memperkuat dampak upaya pengentasan kemiskinan dan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia di tingkat nasional.

Tabel I.b. Indikator Pendekatan Berbasis Hak Asasi Manusia (PBHAM)

Target Nasional Indikator Nasional Usulan Indikator PBHAM
1.2. Tingkat kemiskinan Penurunan tingkat kemiskinan, dari 9,5-19% pada 2015, hingga 7-8% pada 2019. –    Definisi kemiskinan yang sesuai, yang merujuk pada mereka yang hidup di bawah standar kelayakan pemenuhan kebutuuhan hidup minimal nasional terbaru dalam setiap regulasi dan/atau kebijakan terkait intervensi pengentasan kemiskinan.

–    Proporsi masyarakat yang hidup di bawah angka kebutuhan hidup minimum/bulan nasional.

1.3 Akses kepada perlindungan sosial Peningkatan persentase kepesertaan Kartu Indonesia Sehat dari 60% pada 2015 menjadi 95% pada 2019. –     Tersedianya layanan satu atap untuk program-program perlindungan sosial untuk memfasilitasi masyarakat untuk mengakses sistem perlindungan sosial yang komprehensif, dan juga meningkatkan koordinasi dan mencegah tumpang-tindih antar program.
a.    Peningkatan persentase orang tua miskin dan rentan yang menerima bantuan kebutuhan dasar, dari 2,24% pada 2015 menjadi 2,28% pada 2019;

b.    Peningkatan persentase penyandang disabilitas miskin dan rentan yang menerima bantuan kebutuhan dasar, dari 14,48% pada 2015 menjadi 17,12% pada 2019;

c.     Penurunan jumlah rumah tangga miskin yang menerima bantuan tunai bersyarat, dari tiga juta rumah tangga pada 2015 menjadi 2,8 juta rumah tangga pada 2019.

–    Peningkatan jumlah jaminan pendapatan dasar yang sesuai dengan ambang batas biaya hidup minimum nasional, untuk mencegah kalangan rentan, termasuk perempuan, anak, masyarakat adat dan penyandang disabilitas, mengalami deprivasi ekstrem atas kebutuhan dasar mereka;

–    Persyaratan yang lebih terjangkau untuk bantuan tunai bersyarat bagi perempuan yang tinggal di wilayah terpencil tanpa akses kepada fasilitas kesehatan.

Peningkatan jumlah kepesertaan SJSN Tenaga Kerja dari 29,5 juta tenaga kerja formal dan 1,3 juta tenaga kerja informal pada 2015 menjadi 62,4 juta dan 3,5 juta pada 2019. –    Tersedianya peraturan dan/atau kebijakan lain terkait tunjangan pengangguran untuk mencegah kalangan yang menganggur terdeprivasi dari kebutuhan dasar mereka.
1.4. Akses kepada layanan dasar a.   Peningkatan cakupan layanan persalinan di fasilitas kesehatan, dari 75% pada 2015 menjadi 85% pada 2019;

b.   Peningkatan cakupan imunisasi dasar untuk anak usia 12-23 bulan menjadi 63% pada 2019;

c.   Peningkatan cakupan penggunaan kontrasepsi perempuan usia 15-49 tahun, dari 61,9% pada 2015 menjadi 66% pada 2019;

d.   Peningkatan akses kepada air minum aman, dari 60,9% pada 2015 menjadi 100% pada 2019;

e.   Peningkatan akses kepada sanitasi layak, dari 60,9% pada 2015 menjadi 100% pada 2019;

f.     Peningkatan jumlah rumah tangga berpendapatan rendah yang mengakses perumahan layak menjadi 18,6 juta rumah tangga pada 2019.

–    Tersedianya peraturan dan/atau kebijakan kepemilikan tanah yang telah direformasi untuk menyederhanakan proses pendaftaran, mengurangi biaya, meningkatkan efisiensi, dan mengurangi penundaan proses pendaftaran lahan individu maupun kolektif;

–    Peningkatan persentase kepemilikan lahan bersama oleh suami istri;

–    Proporsi masyarakat adat dengan kepemilikan tanah yang aman.

–    Proporsi rumah tangga tanpa akses kepada perumahan layak.

Lembaga-lembada dan program-program PBB di Indonesia berkomitmen untuk mengambil peranan signifikan dalam membantu Pemerintah Indonesia mencapai SDG dengan tiga modal utama, yaitu advokasi dan saran kebijakan, pembangunan kapasitas, dan berbagi pengetahuan. Terkait pengurangan kemiskinan, UNDP misalnya, adalah sebuah bagian dari sistem PBB di Indonesia yang telah menjadi mitra Pemerintah Indonesia sejak lama untuk mengatasi isu kemiskinan. Pemerintah Indonesia akan mendapatkan manfaat dari berbagai bantuan yang diberikan UNDP untuk memperkuat kapasitas pelaksanaan strategi pengurangan kemiskinan nasional. Lebih lanjut, terkait target perlindungan sosial, Pemerintah Indonesia juga akan mendapat manfaat dari kemitraan erat dengan ILO dalam memperkuat sistem jaminan minimum (floor) perlindungan sosial nasional.

 

Sumber Lain: