MENGURANGI KETIMPANGAN DI DALAM DAN ANTAR NEGARA

Ketimpangan adalah salah satu tantangan terbesar dalam mewujudkan hak asasi manusia. Dampak ketimpangan terhadap masyarakat dapat sangat fatal, karena ia menciptakan kemiskinan, marginalisasi, yang pada akhirnya akan memicu konflik. Laporan Ilmu Pengetahuan Sosial Dunia (World Social Science Report) yang disusun oleh UNESCO yang berjudul Menantang Ketimpangan (Challenging Inequalities) mengidentifikasi tujuh dimensi ketimpangan, yaitu ketimpangan ekonomi, ketimpangan sosial, ketimpangan budaya, ketimpangan politik, ketimpangan lingkungan, ketimpangan spasial, dan ketimpangan pengetahuan.[1] Setiap dimensi tersebut saling beririsan, karena setiap dimensi ketimpangan yang terjadi dapat menciptakan bentuk ketimpangan lainnya. Misalnya, masyarakat miskin yang telah menjadi korban ketimpangan ekonomi dapat menghadapi hambatan yang lebih besar untuk mengakses pendidikan berkualitas dibandingkan mereka yang tidak miskin. Ketika suatu masyarakat tidak mendapatkan akses kepada pendidikan dan pengetahuan, kapasitas mereka untuk membuat keputusan sadar/terinformasi dan berpartisipasi politik secara penuh di dalam setiap proses pembuatan kebijakan yang akan mempengaruhi hidup mereka akan menjadi terbatas. Dari contoh tersebut, kita bisa melihat bagaimana satu dimensi ketimpangan, yaitu ketimpangan ekonomi, dapat menciptakan ketimpangan pengetahuan, dan akhirnya ketimpangan politik.

Prinsip Hak Asasi Manusia untuk Mengatasi Ketimpangan

Menyadari bahwa ketimpangan meningkatkan tercerabutnya hak asasi manusia, sistem hak asasi manusia internasional selama ini telah berupaya untuk mengatasi ketimpangan melalui penerimaan dan penegasan prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi di hampir seluruh instrumen hak asasi manusia.

Sementara itu, Kantor Komite HAM PBB memberikan definisi yang lebih rinci terkait prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi sebagai berikut:

Hak atas kesetaraan dan prinsip non-diskriminasi adalah salah satu elemen dasar hukum hak asasi manusia internasional. Hak atas kesetaraan menjamin terutama sekali bahwa semua orang adalah setara di hadapan hukum, yang berarit hukum harus dirumuskan dalam ketentuan umum yang berlaku bagi setiap orang dan harus ditegakkan dengan prinsip kesetaraan. Kedua, semua orang berhak atas perlindungan yang setara di bawah hukum dari perlakuan sewenang-wenang dan diskriminatif oleh akt orswasta. Dalam hal ini, hukum harus melarang setiap diskriminasi dan menjamin bahwa perlindungan yang setara dan efektif bagi semua orang dari diskriminasi atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik maupun lainnya, asal kebangsaan atau sosial, kepemilikan, kelahiran, disabilitas dan status kesehatan, termasuk HIV/AIDS, usia, orientasi seksual maupun status lainnya.[2]

Perlindungan bagi setiap orang dari ketimpangan dan diskriminasi amat penting bagi setiap negara untuk dapat melaksanakan kewajiban perlindungan HAM-nya. Untuk mencapai tujuan ini, pemerintah tidak hanya harus menahan diri dari melakukan tindak diskriminatif apapun, namun juga harus melindungi siapapun yang berada di bawah jurisdiksinya dari bentuk diskriminasi apapun yang dilakukan oleh aktor swasta. Hal ini dapat dilakukan, antara lain, dengan mengadopsi undang-undang anti diskriminasi dan membuat kebijakan dan program untuk memerangi praktik dna tradisi diskriminatif di masyarakat, serta memastikan bahwa setiap orang memiliki akses dan kesempatan setara untuk menikmati hak asasi manusia dan pembangunan.

[1] UNESCO, World Social Science Report, Challenging Inequalities: Pathways to a Just World, 2016, page: 22.

[2] OHCHR, Principles and Guidelines for A Human Rights Approach To Poverty Reduction Strategies, 2012, page: 9. Available at: http://www.ohchr.org/Documents/Publications/PovertyStrategiesen.pdf

Serupa dengan banyak negara di dunia, Indonesia juga masih berjuang mengatasi ketimpangan. Sebuah laporan yang disusun Bank Dunia pada 2015 menyebutkan bahwa ketimpangan di Indonesia meningkat lebih cepat dibandingkan negara-negara tetangga di Asia Timur, dengan kelompok masyarakat terkaya di Indonesia memiliki pendapatan sebesar 50 persen pendapatan seluruh Indonesia.[1] Sementara itu, Oxfam menemukan bahwa 4 orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan lebih besar daripada kekayaan 100 juta orang termiskin di Indonesia.[2] Oxfam juga menemukan bahwa beberapa masalah yang menjadi penyebab terus berlangsungnya ketimpangan di Indonesia adalah sebagai berikut:[3]

  • Upah rendah dan pekerjaan yang tidak aman bagi mereka yang berada di lapis terbawah, yang semakin melipatgandakan ketimpangan;
  • Akses tidak setara antara wilayah pedesaan dan perkotaan terhadap infrastruktur seperti listrik dan jalan berkualitas, yang melipatgandakan ketimpangan spasial;
  • Terkonsentrasinya kepemilikan tanah di tangan sejumlah perusahaan besar dan orang kaya, yang berarti manfaat kepemilikan tanah hanya menguntungkan segelintir orang di puncak, yang bebannya harus ditanggung oleh seluruh masyarakat.

Sebagai akibat dari ketimpangan yang luar biasa ini, banyak masyarakat Indonesia yang tidak mendapatkan akses kepada berbagai layanan publik, termasuk layanan kesehatan, pendidikan, maupun hak asasi manusia lainnya, seperti standar hidup yang layak, akses kepada kerja layak, serta lembaga peradilan. Lebih lanjut, terdapat indikasi kuat bahwa di wilayah di mana ketimpangan ekonomi tinggi, kejahatan dengan kekerasan juga tinggi. Selain itu, kabupaten dengan ketimpangan lebih tinggi memiliki tingkat konflik 1,6 kali lebih tinggi dibandingkan kabupaten dengan tingkat ketimpangan lebih rendah.[4]

Terkait dengan Tujuan 10, yaitu mengurangi ketimpangan di dalam negeri, Pemerintah Indonesia telah mencoba mengharmonisasikan prioritas pembangunan nasional dengan target global yang dinyatakan di dalam Tujuan 10 sebagaimana dapat dilihat pada matriks berikut:

Target Global Target Nasional Indikator Nasional
10.1 Pada 2030, secara progresif mencapai dan mempertahankan pertumbuhan pendapatan bagi 40 persen masyarakat terbawah di tingkat yang lebih tinggi daripada rata-rata nasional. 1. Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan

2. Meningkatkan standar hidup penduduk 40 persen terbawah

a. Koefisien Gini 3,6 di tahun 2019;

b. Menurunnya prosentase populasi yang hidup di bawah garis kemiskinan menjadi 7-8% di tahun 2019

c. Jumlah daerah tertinggal yang terentaskan menjadi 42 Daerah Tertinggal dan 80 Kabupaten Terentaskan di tahun 2019

d. Pertumbuhan ekonomi rata-rata di wilayah tertinggal menjadi 7,24% di tahun 2019

e. Menurunnya persentase populasi miskin di wilayah tertinggal menjadi 14% di tahun 2019

f.   100% akses kepada makanan bergizi di tahun 2019

10.2 Pada 2030, memberdayakan dan mempromosikan inklusi sosial, ekonomi dan politik bagi semua tanpa memandang usia, jenis kelamin, disabilitas, ras, etnis, asal, agama, status ekonomi maupun lainnya. Tidak tersedia Tidak tersedia
10.3 Menjamin peluang setara dan mengurangi ketimpangan hasil, termasuk dengan menghapuskan undang-undang, kebijakan dan praktik diskriminatif serta mempromosikan undang-undang, kebijakan dan tindakan yang sesuai dengan prinsip di atas. Menguatkan iklim kondusif bagi berkembangnya demokrasi yang beradab, memelihara perdamaian, dan meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan a.  Meningkatnya skor Indeks rasa aman

b.  Meningkatnya skor Indeks toleransi

c.   Menurunnya jumlah konflik sosial per tahun

d.  Meningkatnya skor indeks gotong royong

e.  Meningkatnya skor indeks demokrasi Indonesia

f.    Meningkatnya skor Indeks Kebebasan Sipil;

g.  Meningkatnya skor indeks hak politik

h.  Meningkatnya skor index lembaga demokrasi

i.    Menurunnya jumlah konflik atas dasar etnisitas, agama, ras, dan antar kelompok

 

10.4 Mengadopsi kebijakan, khususnya kebijakan fiskal, upah dan perlindungan sosial, dan secara progresif mencapai kesetaraan yang lebih besar. 1. Meningkatkan pelaksanaan SJSN –    Meningkatnya jumlah peserta SJSN sampai 62,4 juta anggota di tahun 2019

–    Meningkatnya presentasi peserja SJSN menjadi minimal 95% di tahun 2019.

10.5 Meningkatkan regulasi dan monitoring pasar dan lembaga keuangan global serta memperkuat pelaksanaan regulasi tersebut. Mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan stabilitas keuangan global Tidak tersedia .
10.6 Menjamin peningkatan keterwakilan dan suara negara berkembang dalam pengambilan keputusan di ekonomi internasional dan lembaga keuangan global agar dapat menciptakan lembaga yang lebih efektif, kredibel, akuntabel dan sah. 1. Menguatkan diplomasi ekonomi Indonesia dalam forum bilateral, multilateral, regional dan global

2. Peningkatan peran Indonesia di APEC dan G-20 untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia dan negara berkembang

3. Peningkatan peran dan kepemimpinan dalam forum multilateral

a. 85% penerimaan Indonesia di dalam forum multilateral terkait isu pembangunan, ekonomi, dan lingkungan hidup

 

b. 80% kepemimpinan Indonesia dalam forum multilateral terkait isu pembangunan, ekonomi, dan lingkungan hidup

10.7 Memfasilitasi migrasi dan mobilitas manusia yang tertib, aman, reguler dan bertanggung jawab, termasuk melalui pelaksanaan kebijakan migrasi yang terencana dan terkelola dengan baik. 1. Meningkatkan kualitas perlindungan WNI/BHI di luar negeri

2. Memperluas kerja sama dalam rangka melindungi hak dan keselamatan tenaga migran

–    Pelatihan dan proses penempatan (medical check up, tiket pesawat) bersumber dari swasta (calon pekerja) dan kredit perbankan

 

10.a Melaksanakan prinsip perlakuan khusus dan berbeda (special and differential treatment) bagi negara berkembang, terutama negara kurang berkembang, sesuai dengan perjanjian Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Meningkatnya pemanfaat skema perundingan kerja sama ekonomi internasional yang telah disepakati Tidak tersedia
10.b Mendorong bantuan pembangunan resmi dan aliran keuangan, termasuk investasi asing langsung, kepada negara-negara yang paling membutuhkan, khususnya negara kurang berkembang, negara Afrika, negara berkembang kepulauan kecil, dan negara berkembang terkunci daratan, sesuai dengan rencana dan program nasional masing-masing. Meningkatkan peran Indonesia dalam kerja sama selatan selatan dan triangular

Menguatnya citra positif Indonesia melalui peningkatan peran di bidang pemberian bantuan kerjasama teknis yang berkualitas

a. Tahun 2019, 75% respon positif terhadap bantuan kerjasama teknik melalui mekanisme bilateral dan triangular

b. Jumlah kegiatan penguatan/promosi

c. 6 laporan perluasan jaringan kemitraan dalam rangka pemberian bantuan teknik selatan-selatan dan triangular

10.c Pada 2030, mengurangi hingga kurang dari 3 persen biaya transaksi remitansi dari pekerja migran dan menghapus koridor remitansi yang berbiaya lebih tinggi dari 5 persen. 1. Perluasan jaringan cabang Bank dan ATM bank untuk memudahkan rumah tangga pekerja migran menerima remitansi

2. G-20 Forum: memberi penekanan kepada usaha-usaha untuk menurunkan biaya remitansi

 

Tidak tersedia

[1] The World Bank, Indonesia: Rising Inequality Risks Long-Term Growth Slowdown, tersedia di: http://www.worldbank.org/en/news/press-release/2015/12/08/rising-inequality-risks-long-term-growth-slowdown

[2] Oxfam, TOWARDS A MORE EQUAL INDONESIA, tersedia di: https://www.oxfam.org/sites/www.oxfam.org/files/bp-towards-more-equal-indonesia-230217-en_0.pdf

[3] Ibid.

[4] Ibid.

Upaya pemerintah Indonesia dalam mengharmonisasi seluruh target di bawah Tujuan 10 ke dalam agenda pembangunan nasionalnya amat layak diapresiasi. Namun, karena beberapa target dan indikator di bawah SDG 10 beririsan dengan tujuan lainnya, khususnya tujuan terkait kemiskinan dan kerja layak, kami hanya akan berfokus pada satu target terkait hak asasi manusia di bawah Tujuan 10, yaitu menjamin kesempatan setara dan mengurangi ketimpangan hasil (10.3).

Karena target 10.3 tidak hanya bertujuan menjamin kesetaraan kesempatan, namun juga mengurangi ketimpangan hasil, kami akan berfokus pada kelompok paling terdampak, yaitu yang akibat diskriminasi dan marginalisasi tidak hanya membuat mereka tidak dapat menikmati hak asasi dasar mereka, namun juga membuat mereka sebagai sasaran kekerasan dan kebencian, yaitu kelompok agama minoritas, serta kelompok masyarakat yang memiliki orientasi seksual, identitas dan/atau ekspresi gender berbeda, khususnya lesbian, gay, transgender, dan interseksual (LGBTI).

Kelompok agama minoritas di Indonesia telah lama berjuang menghadapi diskriminasi yang berkisar dari sulitnya mendapatkan izin untuk membangun rumah ibadah, hingga penganiayaan. Kelompok Syiah dan Ahmadiyah saat ini merupakan kelompok yang paling dijadikan sasaran karena mereka telah terstigma sebagai sekte agama yang menyimpang. Stigmatisasi ini membuat mereka rentan mengalami intimidasi dan kekerasan dari kelompok garis keras.[1] Lebih lanjut, kedua kelompok tersebut telah didiskriminasi secara sistematis melalui berbagai kebijakan dan regulasi atas dasar keyakinan agama mereka. Kurangnya perlindungan dan adanya sikap diskriminatif dari negara, khususnya dari pemerintah daerah, telah menyebabkan tindakan main hakim sendiri dari kelompok intoleran yang menjadikan kelompok-kelompok minoritas tersebut sasaran kebencian dan kekerasan mereka. Lebih lanjut, banyak pengikut Syiah dan Ahmadiyah diusir dari rumah mereka sehingga terpaksa tinggal dalam kondisi memprihatinkan di kamp-kamp pengungsian.

Sementara itu, komunitas LGBTI juga menghadapi situasi yang serupa, karena mereka juga distigmatisasi oleh masyarakat sebagai kelompok berperilaku seksual menyimpang. Kurangnya perlindungan dan adanya diskriminasi sistemik terhadap kelompok LGBTI di Indonesia telah menyebabkan banyaknya tindak kekerasan yang dilakukan terhadap mereka. Sebuah penelitian yang dilakukan pada 2013 menunjukkan bahwa 89,3 persen kelompok LGBTI di Indonesia telah mengalami kekerasan di sepanjang hidup mereka.[2] Lebih lanjut, kelompok LGBTI juga mengalami kesulitan mencari pekerjaan, khususnya di sektor formal. Kelompok transgender bahkan juga sulit mendapatkan pekerjaan di sektor informal. Laporan terbaru menemukan bahwa lebih dari 84 persen perempuan transgender di Jakarta bekerja di jalanan sebagai pekerja seks komersial atau pengamen.[3] Akibatnya, kemiskinan merajalela di kalangan LGBTI di Indonesia. menurut laporan terbaru lainnya, terdapat 31 persen kelompok LGBTI yang hidup dengan kurang dari 1 juta rupiah per bulan, sementara 38 persen lainnya hidup dengan 1-2,5 juta rupiah, yang artinya lebih dari separuhnya hanya hidup dengan kurang dari 1,5 juta rupiah per bulan.[4] Situasinya bahkan lebih parah di kalangan transgender, dengan lebih dari 94 persen perempuan transgender hidup dengan 500 ribu hingga 1 juta rupiah per bulan.[5]

Karenanya, untuk menjamin kesetaraan dan mengurangi ketimpangan hasil sesuai Target 10.3, Pemerintah Indonesia tidak hanya perlu mencabut undang-undang/regulasi/kebijakan diskriminatif terhadap kelompok agama, seksual dan gender minoritas, namun juga perlu mengesahkan undang-undang anti diskriminasi untuk melindungi kelompok-kelompok tersebut dari diskriminasi dan kekerasan. Lebih lanjut, penting pula bagi Pemerintah Indonesia untuk mempromosikan kesetaraan melalui pendidikan dan kampanye untuk mengatasi stigmatisasi dan pandangan tradisional masyarakat yang menghambat perlindungan penuh kelompok minoritas untuk menikmati hak asasi mereka.

[1] Lihat, Human Rights Watch, In Religion’s Name: Abuses against Religious Minorities in Indonesia, 2013, page.1

[2] Arus Pelangi, Menguak Stigma, Kekerasan & Diskriminasi Pada LGBT di Indonesia, 2013, page: 62.

[3] Lihat, Sanggar Swara, Situasi Waria Muda di DKI Jakarta, tersedia di: http://aruspelangi.org/project/situasi-waria-muda/

[4] The basic minimum living cost in Indonesia is 1,813.396 rupah per month. Lihat: https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1212

[5] Lihat, Sanggar Swara, Op.cit.

Dengan melihat situasi kelompok paling terdampak di Indonesia sebagaimana diperlihatkan pada bagian Analisis Kesenjangan, kami sangat merekomendasikan Pemerintah Indonesia untuk mempertimbangkan aspek-aspek HAM berikut ini untuk menjamin kesetaraan kesempatan serta mengurangi ketimpangan hasil di Indonesia.

Target Nasional Indikator Nasional Usulan Indikator PBHAM
10.3 Menjamin kesempatan setara dan mengurangi ketimpangan hasil, termasuk dengan menghapuskan undang-undang, kebijakan dan praktik diskriminatif serta mempromosikan legislasi, kebijakan dan tindakan yang sesuai yang mendukung prinsip ini. a. Proporsi masyarakat yang melaporkan mengalami langsung diskriminasi atau pelecehan dalam 12 bulan ke belakang atas dasar yang dilarang di dalam hak asasi manusia internasional;

b. Indeks Kebebasan Sipil;

c. Jumlah keluhan hak asasi manusia yang ditangani;

d. Jumlah keluhan hak asasi manusia yang ditangani, khususnya terkait kekerasan terhadap perempuan;

e. Jumlah kebijakan diskriminatif dalam 12 bulan ke belakang atas dasar yang dilarang di dalam hukum hak asasi manusia internasional.

–    Pencabutan seluruh undang-undang, regulasi dan kebijakan diskriminatif yang menghambat seseorang dari hak mereka atas kebebasan beragama, berpikir dan kesadaran;

–    Pencabutan seluruh undang-undang, regulasi dan kebijakan diskriminatif yang menghambat seseorang menikmati hak asasinya atas dasar orientasi seksual, identitas dan/atau ekspresi gender;

–    Pembuatan undang-undang anti-diskriminasi yang melarang praktik diskriminatif terhadap siapapun atas dasar apapun, termasuk orientasi seksual, identitas dan/atau ekspresi gender;

–    Menjadikan kejahatan berbasis kebencian dan ujaran kebencian sebagai tindakan yang dapat dihukum berdasarkan Hukum Pidana;

–    Jumlah pelaku kekerasan terhadap siapapun atas dasar kebencian terhadap agama, orientasi seksual, identitas gender dan/atau ekspresi seseorang yang telah dituntut dan didakwa;

–    Pengadopsian kurikulum kewarganegaraan terintegrasi yang mempromosikan prinsip inklusi, toleransi, non-diskriminatif dan hak asasi manusia melalui kurikulum sekolah di seluruh tingkatan.

Sumber-sumber data:
–    Program Legislatif Nasional (Prolegnas);
–    Laporan Masyarakat di Kepolisian;
–    Laporan Masyarakat di Komnas HAM dan Komnas Perempuan;
–    Putusan Pengadilan

Tim PBB di Indonesia dapat membantu Pemerintah untuk mencapai SDG 10 melalui berbagai bantuan teknis. Khusus untuk Target 10.3, yaitu menjamin kesetaraan dan mengurangi ketimpangan hasil, Pemerintah Indonesia dapat mengambil manfaat dari proyek-proyek yang dilaksanakan UNESCO terkait promosi pendidikan inklusif, yang bertujuan membantu menciptakan pemahaman yang baik serta mendukung prinsip inklusi dan implikasinya, yang dapat diterapkan di dalam sistem sekolah oleh baik pemerintah pusat dan daerah, sekolah, maupun guru.

 

Sumber Lain: