MENGHENTIKAN KELAPARAN, MENINGKATKAN KETAHANAN PANGAN DAN NUTRISI, SERTA MEMPROMOSIKAN PERTANIAN BERKELANJUTAN

Hak atas Pangan sebagai Hak Asasi Manusia Dasar

Pangan adalah kebutuhan dasar bagikeberlanjutan hidup manusia, yang jika tidak tersedia dapat menciptakan kondisi yang mengancam kehidupan, dan karenanya hak atas pangan yang layak adalah hak asasi manusia. Hak atas pangan ditegaskan dalam ICESCR Pasal 11 ayat (1) sebagai berikut:

Negara-Negara Peserta Kovenan mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan layak bagi dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian dan perumahan layak, serta perbaikan kondisi hidup terus-menerus. Negara-Negara Peserta akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin terwujudnya hak ini, dan mengakui pentingnya kerja sama internasional sukarela untuk mencapai tujuan ini.”

Hak atas pangan juga dinyatakan di dalam UUD 1945 Pasal 28H tentang hak setiap orang untuk hidup sejahtera lahir batin. Hak serupa juga disebutkan di dalam Undang-Undang Pangan No. 18/2012, dan karena Indonesia juga merupakan peserta ICESCR, maka hal tersebut disebutkan pula pada UU No. 11/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Ekosob.

Hak atas pangan mencakup tiga pilar utama, yaitu ketersediaan, akses, dan kelayakan.[1] Karenanya, untuk menjamin hak setiap orang atas pangan, ketiga pilar tersebut harus dijadikan dasar pelaksanaan upaya nasional untuk pemenuhan hak atas pangan.

Meskipun sudah memiliki UU tentang ketahanan pangan, Indonesia masih berada di peringkat ke-72 dari 109 negara dalam hal kerawanan pangan dan ketahanan pangan menurut Indeks Ketahanan Pangan Global (Global Food Security Index).[2] World Food Program menemukan tantangan-tantangan sebagai berikut:[3]

  • Ketahanan pangan meningkat antara tahun 2009 dan 2015, dengan 58 dari 398 kecamatan (district) pedesaan yang sangat rentan pada 2015. Namun kemajuan ini dapat terhambat jika tantangan terkait akses pangan, malnutrisi dan kerentanan terhadap bahaya terkait iklim tidak diatasi;
  • Stunting mempengaruhi 37 persen balita, dan bersama dengan berat badan rendah (underweight) dialami secara luas di seluruh kelompok pendapatan; sementara itu prevalensi berat badan berlebih (overweight) dan obesitas di kalangan orang dewasa meningkat tajam, juga untuk seluruh kelompok pendapatan;
  • Kemiskinan dan harga pangan yang tidak stabil menghambat akses kepada pangan khususnya di wilayah terpencil. Mayoritas masyarakat Indonesia, termasuk 60 persen petani subsisten, membeli bahan pangan mereka di pasar;
  • Indonesia bercita-cita menjadi mandiri dalam memenuhi kebutuhan beras, jagung, kedelai, daging sapi dan gula. Upaya untuk meningkatkan produksi sedang berjalan, namun perubahan iklim mengakibatkan pertanian dan pencaharian masih rentan terhadap iklim ekstrem;
  • Indonesia juga mengalami ancaman bencana alam dalam frekuensi yang tinggi.

Seluruh tantangan ini membuat perjuangan untuk memperkuat ketahanan pangan, mengakhiri kelaparan dan perbaikan gizi menjadi krusial untuk dijadikan prioritas di dalam rencana dan pelaksanaan pembangunan nasional.

[1] General Comment No. 12/1999 on the right to adequate food, adopted by  the Committee on Economic, Social and Cultural Rights.

[2] Global Food Security Index 2016, tersedia di: http://foodsecurityindex.eiu.com/Country/Details#Indonesia

[3] https://www.wfp.org/countries/indonesia

Di tingkat global, Agenda SDG telah memasukkan hak atas pangan sebagai tujuan tersendiri, yaitu Tujuan 2: “Mengentaskan kelaparan, mencapai keamanan pangan dan perbaikan gizi serta mempromosikan pertanian berkelanjutan.” Tujuan ini terdiri dari delapan target yang berkisar dari pengentasan kelaparan dan malnutrisi hingga produktivitas pertanian. Sementara itu di tingkat nasional, Pemerintah Indonesia telah memasukkan lima dari delapan target global yang akan dicapai pada 2019.

Target Global Target Nasional Indikator Nasional
2.1 Pada 2030, mengakhiri kelaparan dan menjamin akses bagi semua orang, khususnya masyarakat miskin dan dalam situasi rentan, termasuk anak-anak, kepada pangan yang aman, bergizi dan cukup sepanjang tahun; 1. Meningkatnya status gizi masyarakat a.     Pengurangan prevalensi berat badan rendah di kalangan balita hingga 17% (2013:19,9%);

b.     Penurunan prevalensi kekurangan energi kronis (KEK) perempuan hamil hingga 18% pada 2019 (2013:24,3%);

c.     Penurunan proporsi masyarakat dengan asupan kalori kurang dari 1400 kkal/kapita/hari hingga 8,5% pada 2019 (2015:17,4%).

2.2 Pada 2030, mengakhiri segala bentuk kekurangan gizi, termasuk mencapai, pada 2025, target yang disepakati secara internasional terkait stunting dan wasting pada balita, dan memenuhi kebutuhan gizi remaja perempuan, perempuan hamil dan menyusui, serta orang tua; 1.   Meningkatnya status gizi masyarakat 2.   Meningkatnya pengendalian terhadap penyakit-penyakit tidak menular dan menular, serta meningkatnya penyehatan lingkungan a.   Penurunan prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) di kalangan anak usia di bawah dua tahun hingga 22,8%) pada 2019 (2013: 32,9%);

b.   Penurunan prevalensi wasting di kalangan anak usia di bawah lima tahun hingga 9,5% pada 2019 (2013: 12%);

c.   Prevalensi obesitas bertahan (retained prevalence) di kalangan anak balita hingga 11,9% pada 2019 (2013: 11,9%);

d.   Penurunan prevalensi anemia di kalangan perempuan hamil hingga 28% pada 2019 (2013: 37,1%);

e.   Peningkatan persentase anak berusia di bawah enam bulan yang menerima ASI eksklusif menjadi 50% pada 2019 (2013: 39%);

f.    Peningkatan kualitas konsumsi pangan yang ditunjukkan oleh PPH hingga 92,5; dan tingkat konsumsi ikan menjadi 54,5 kg/kapita/tahun pada 2019 (2015: 40,9 kg/kapita/tahun).

2.3 Pada 2030, menggandakan produktivitas pertanian dan pendapatan produsen pangan skala kecil, khususnya perempuan, masyarakat adat, petani keluarga, peternak dan nelayan, termasuk melalui akses aman dan setara kepada lahan, sumber daya produktif, serta masukan, pengetahuan, layanan keuangan, pasar dan kesempatan untuk meningkatkan nilai tambah dan lapangan kerja non-pertanian; 1. Tercapainya peningkatan ketersediaan pangan yang bersumber dari produksi dalam negeri (RPJMN Buku I, 6-147) a.    Peningkatan ketersediaan sumber pangan domestik, yaitu beras, jagung, kacang kedelai, gula, sapi, ikan, dan garam pada 2019;

b.    Terdistribusinya kepemilikan lahan bagi petani, petani penggarap dan nelayan;

c.    Berkembangnya sektor pertanian dan perikanan, khususnya bagi petani dan nelayan miskin.

2.4 Pada 2030, menjamin sistem produksi pangan berkelanjutan dan melaksanakan praktik pertanian berketahanan yang meningkatkan produktiivtas dan produksi, yang membantu menjaga ekosistem, yang memperkuat kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim, cuaca ekstrem, kekeringan, banjir dan bencana lain serta yang secara progresif meningkatkan kualitas lahan dan tanah; Tidak tersedia Tidak Tersedia
2.5 Pada 2020, mempertahankan keanekaragaman genetika benih, tanaman budidaya dan pertanian serta hewan domestik dan spesies liar yang terkait dengannya, termasuk melalui bank benih dan tumbuhan yang beraneka ragam dan dikelola secara profesional di tingkat nasional, regional dan internasional, serta mempromosikan akses kepada pembagian manfaat yang adil dan setara yang timbul dari pemanfaatan sumber daya genetika dan pengetahuan tradisional terkait dengannya sesuai kesepakatan internasional; 1.   Terselenggaranya sistem pembinaan lembaga pembenihan tanaman pangan yang efisien di lokasi penerapan budidaya tanaman pangan yang tepat

2.   Tersusunnya rancangan sistem penyediaan dan penyaluran benih

3.   Tersusunnya konsep pengembangan program 1000 Desa Mandiri Benih

4.   Tersalurkannya benih bersubsidi

5.   Terbangunnya 1000 Desa Mandiri Benih

 

a.   Tersedianya sistem pengembangan, pengawasan, pemantauan dan sertifikasi yang efisien untuk pembibitan pangan, pertanian dan perikanan pada lokasi penanaman pangan yang sesuai di 32 provinsi.

b.   Berkembangnya program dan pembangunan di 100 Desa Mandiri Benih (Seed-Independent Village) pada 2019.

2.a Meningkatkan investasi, termasuk melalui peningkatan kerja sama internasional di bidang infrastruktur pedesaan, penelitian dan perluasan layanan pertanian, pengembangan teknologi serta bank genetika tanaman dan ternak untuk meningkatkan kapasitas produktif pertanian negara berkembang, khususnya di negara kurang berkembang; 1. Meningkatnya investasi di sector pertanian a.  Peningkatan sebesar 10% pada nilai ekspor produk pertanian

b.  Peningkatan sebesar 5% pada nilai impor produk pertanian

c.   Peningkatan sebesar 6% pada PMDN (penanaman modal dalam negeri)

d.  Peningkatan investasi sebesar 8% pada PMA (penanaman modal asing)

 

2.b Memperbaiki dan mencegah pembatasan dan distorsi perdagangan di pasar pertanian dunia, termasuk melalui penghapusan secara paralel segala bentuk subsidi ekspor pertanian dan semua tindakan ekspor dengan efek setara sesuai dengan mandat Putaran Pembangunan Doha (Doha Development Round); Tidak tersedia. Tidak tersedia
2.c Mengadopsi upaya-upaya untuk memastikan berfungsinya pasar komoditas pangan secara layak dan turunannya serta memfasilitasi akses tepat waktu kepada informasi pasar, termasuk terkait cadangan pangan, untuk membantu membatasi ketidakstabilan harga pangan ekstrem. 1.   Stabilnya harga pangan (gabah/beras) di tingkat produsen

2.   Stabilnya harga pangan (gabah/beras) di tingkat konsumen

 

 

a.    Sesuai Harga Pembelian Pemerintah (HPP) CV < 10%

Ketersediaan Pangan

Target nasional yang ditetapkan mencerminkan adanya komitmen tinggi untuk menjamin ketersediaan pangan, termasuk dengan memfasilitasi peralatan pertanian, peternakan dan perikanan, meskipun penting pula untuk memperjelas kelompok sasaran agar dapat menjamin petani skala kecil dan miskin, nelayan, serta petani penggarap (buruh tani) diprioritaskan sebagai penerima fasilitas tersebut.

Selain itu, upaya tersebut harus difokuskan pada pembangunan kemampuan petani miskin, petani penggarap dan nelayan untuk mempertahankan hidup mereka, karena hal tersebut juga akan mempengaruhi kemampuan mereka dalam memproduksi produk pertanian, peternakan dan perikanan untuk mendorong konsumsi pangan yang lebih besar. Pada Agenda 6.7.1 RPJMN, pemerintah berencana membuka akses lebih besar kepada pembiayaan pertanian bagi petani. Namun, tanpa memperhatikan kemampuan petani skala kecil untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, akan sulit bagi mereka untuk mengakses bantuan tersebut atau menjaga kinerja kredit yang baik. Untuk mengatasinya, diperlukan suatu indikator tentang penghasilan rata-rata produsen pangan skala kecil untuk membantu pemerintah memutuskan intervensi apa yang terbaik untuk meningkatkan produktivitas petani skala kecil.

Aksesibilitas dan Kelayakan Pangan

Kemampuan seseorang untuk memperoleh makanan secara fisik maupun ekonomi adalah indikator penting untuk menilai pemenuhan hak atas pangan layak oleh pemerintah. FAO menunjukkan bahwa mayoritas kalangan yang mengalami kelaparan ditemukan di kalangan konsumen miskin yang rata-rata menghabiskan 40% pendapatan mereka untuk membeli makanan,[1]sementara di Indonesia, rata-rata pengeluaran untuk makanan masih berada pada 46,45%,[2] yang artinya mayoritas masyarakat Indonesia belum aman secara pangan.

Mengingat ketidakstabilan harga pangan dapat menghambat aksesibilitas pangan khususnya bagi masyarakat miskin, diperlukan sebuah indikator untuk mengukur harga pasar pangan untuk menilai fungsi pasar komoditas pangan. Lebih lanjut, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, mayoritas penduduk di Indonesia membeli makanannya di pasar, yang artinya diperlukan pula suatu indikator terkait aksesibilitas pasar pangan, seperti biaya transportasi segala musim ke pasar pangan terdekat dan ketersediaan jalan segala musim untuk mengakses pasar pangan.

Terkait kelayakan, untuk memperoleh data yang lebih mendalam tentang pengalaman riil masyarakat terkait aksesibilitas pangan, Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan indikator untuk menilai keparahan kerawanan pangan (insecurity) di masyarakat, berdasarkan Skala Pengalaman Kerawanan Pangan (Food Insecurity Experience Scale/FIES).

[1] FAO, The Right to Food Handbooks: Assessment of the Right to Food, page: 9. Tersedia di: http://www.fao.org/righttofood/knowledge-centre/right-to-food-hanbooks/en/

[2] BPS, Persentase Pengeluaran Rata-rata per Kapita Sebulan Menurut Kelompok Barang, Indonesia tahun 2002-2014, tersedia di: https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/937

Kelompok Rentan

Target nasional telah cukup memperhitungkan perempuan dan anak-anak terkait kelayakan pangan, namun masih belum ada sasaran spesifik pada kelompok rentan lain seperti masyarakat adat dan penyandang disabilitas.

Sebanyak 48 juta masyarakat adat di Indonesia tinggal di dekat atau sekitar hutan[1] dan masih mempraktikkan pertanian tradisional. Karenanya, penggarapan lahan terkait erat dengan akses suatu kelompok terhadap pangan. Factsheet bersama yang dikeluarkan OHCHR dan FAO menyatakan bahwa “Pewujudan hak masyarakat adat atas pangan sangat bergantung pada akses dan kontrol yang mereka miliki atas sumber daya alam di tanah leluhur mereka, karena mereka seringkali mendapatkan sumber makanan dari penggarapan lahan atau mengumpulkan makanan…Penyitaan lahan tanpa persetujuan bebas di awal dan terinformasi dari masyarakat adat yang bersangkutan, serta kurangnya pengakuan hukum atas bentuk kepemilikan lahan adat adalah hambatan serius dalam mewujudkan hak atas pangan.”[2]

Oleh karenanya, diperlukan sejumlah indikator spesifik yang berfokus pada ketersediaan lahan bagi kelompok adat untuk mempraktikkan pertanian tradisional mereka karena hal ini mempengaruhi kelayakan akses pangan mereka.

Saat ini terdapat sekitar 24 juta penyandang disabilitas di Indonesia,[3] yang banyak di antaranya hidup dalam kemiskinan. Penyandang disabilitas di Indonesia berisiko 30 sampai 50 persen lebih tinggi untuk menjadi miskin dan menganggur,[4] yang artinya mereka juga mengalami kerawanan pangan. Selain tidak mampu secara ekonomi untuk membeli makanan, penyandang disabilitas khususnya yang memiliki mobilitas terbatas sulit mengakses pasar pangan untuk membeli makanan, sehingga meningkatkan kerentanan mereka dalam hal mengakses hak atas pangan yang layak. Dengan sejumlah kondisi parah yang dihadapi penyandang disabilitas untuk mengakses pangan dibandingkan dengan non-disabilitas, indikator yang menangkap aksesibilitas pangan bagi penyandang disabilitas menjadi amat penting untuk dimasukkan.

[1] Lihat, UN Special Rapporteur on Adequate Housing, paragraph 48-49.

[2] OHCHR & FAO, Factsheet 34: The Right to Food, page: 18. Tersedia di: http://www.ohchr.org/Documents/Publications/FactSheet34en.pdf

[3] ILO, Inklusi Penyandang Disabilitas di Indonesia, tersedia di: http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/—asia/—ro-bangkok/—ilo-jakarta/documents/publication/wcms_233426.pdf

[4] UNPDF, page: 16-17

Dengan berdasarkan analisis kesenjangan di atas, kami menyarankan indikator-indikator tambahan berikut untuk memperkuat dampak strategi pembangunan nasional untuk mengakhiri kelaparan serta memperkuat keamanan pangan.

Target Nasional Indikator Nasional Usulan Indikator PBHAM
2.1 Mengakhiri kelaparan dan menjamin akses kepada pangan dan gizi bagi semua. a.     Penurunan prevalensi kurang berat badan pada anak balita hingga 17% (2013: 19,9%);

b.     Penurunan prevalensi kekurangan energi kronis (KEK) pada perempuan hamil hingga 18% pada 2019 (2013: 24,3%);

c.     Penurunan proporsi masyarakat dengan asupan kalori kurang dari 1400 kkal/kapita/hari hingga 8,5% pada 2019 (2015: 17,4%)

–    Prevalensi kerawanan pangan moderat atau parah di masyarakat, berdasarkan Skala Pengalaman Kerawanan Pangan (Food Insecurity Experience Scale/FIES);

–    Proporsi masyarakat adat dan penyandang disabilitas yang mengalami kekurangan energi kronis;

–    Proporsi masyarakat adat dan penyandang disabilitas dengan asupan kalori kurang dari 1400 kkal/kapita/hari;

–    Proporsi belanja rumah tangga untuk pangan;

–    Proporsi belanja pangan di kalangan masyarakat miskin, adat dan penyandang disabilitas;

–    Proporsi masyarakat miskin, adat dan penyandang disabilitas yang rentan mengkonsumsi pangan yang tidak aman;

–    Persentase rumah tangga pedesaan tanpa akses layak ke pasar pangan;

–    Persentase penyandang disabilitas tanpa akses layak ke pasar pangan;

–    Proporsi masyarakat yang terpapar kepada informasi dan kampanye pendidikan publik (termasuk arahan dari sekolah) terkait gizi dan pangan yang aman.

2.2. Mengakhiri kelaparan dan segala bentuk malnutrisi. a.   Penurunan prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) di kalangan anak di bawah dua tahun hingga 22,8% pada 2019 (2013: 32,9%)b.   Penurunan prevalensi wasting di kalangan anak di bawah lima tahun hingga 9,5% pada 2019 (2013: 21%);c.   Prevalensi bertahan obesitas di kalangan anak balita hingga 11,9% pada 2019 (2013: 11,9%);d.   Penurunan prevalensi anemia di kalangan perempuan hamil hingga 28% pada 2019 (2013: 37,1%);e.   Peningkatan persentasi anak di bawah enam bulan yang menerima ASI eksklusif hingga 50% pada 2019 (2013: 39%);f.    Peningkatan kualitas konsumsi pangan yang ditunjukkan oleh Desirable Dietary Pattern (PPH) hingga 92,5; dan tingkat konsumsi ikan menjadi 54,5 kg/kapita/tahun pada 2019 (2015: 40,9 kg/kapita/tahun).
2.3 Menggandakan produktivitas pertanian dan pendapatan produsen pangan skala kecil. a.    Peningkatan ketersediaan sumber pangan domestik, yaitu beras, jagung, kedelai, gula, daging sapi, ikan, dan garam pada 2019;

b.    Kepemilikan lahan yang terdistribusi bagi petani, petani penggarap dan nelayan;

c.    Pengembangan sektor pertanian dan perikanan, khususnya bagi petani miskin dan nelayan.

–    Rata-rata pendapatan produsen pangan skala kecil berdasarkan jenis kelamin dan status adat;

–    Proporsi kelompok masyarakat adat dengan kepemilikan lahan yang diakui.

2.4. Menjamin sistem produksi pangan yang berkelanjutan. a.    Pembentukan zona pertanian pangan berkelanjutan;

b.    Distribusi fasilitas untuk produk pertanian, peternakan dan perikanan, khususnya pupuk, bibit dan peralatan pertanian/perikanan.

–    Persentase tanah ulayat yang dipertahankan sebagai zona pertanian berkelanjutan;

–    Persentase produsen skala kecil dan masyarakat adat yang difasilitasi dengan peralatan pertanian/perikanan.

–    Adanya kebijakan diversifikasi pangan di tiap daerah yang disesuaikan dengan sumber pangan wilayahnya masing-masing.

Lembaga-lembaga dan program-program di bawah PBB di Indonesia berkomitmen untuk memainkan peran yang signifikan dalam membantu Pemerintah Indonesia mencapai SDG dengan tiga modalitas utama, yaitu advokasi dan saran kebijakan, pembangunan kapasitas, dan berbagi pengetahuan. Terkait upaya mengakhiri kelaparan, mencapai keamanan pangan dan perbaikan gizi serta mempromosikan pertanian berkelanjutan, Pemerintah Indonesia akan mendapatkan manfaat dari kemitraan erat dengan FAO dan WFP dalam penguatan kapasitas untuk menjalankan seluruh target nasional yang terkait tujuan kedua SDG. Selain itu, UNICEF juga akan memberikan berbagai bantuan teknis untuk menjamin keamanan pangan di kalangan anak-anak.

 

Sumber Lain: