MEMPROMOSIKAN MASYARAKAT YANG DAMAI DAN INKLUSIF DEMI PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN, MENYEDIAKAN AKSES KEADILAN BAGI SEMUA DAN MEMBANGUN LEMBAGA YANG EFEKTIF, AKUNTABEL DAN INKLUSIF DI SELURUH TINGKATAN
- Pendahuluan
- Target Global dan Nasional
- Analisis Kesenjangan
- Target Nasional dengan Pendekatan Berbasis HAM
- Peran PBB
Perdamaian dan Keadilan sebagai Hak Asasi Manusia
Tujuan 16 mencakup sebagian besar dimensi sipil dan politik hak asasi manusia. Tujuan ini mencakup hak untuk hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan dan perbudakan, hak atas kebebasan informasi, hak atas partisipasi politik, hak atas kepribadian hukum (legal personality), serta hak atas akses keadilan. Semua hak ini dinyatakan di dalam Deklarasi Universal HAM (UDHR), Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), serta berbagai instrumen HAM internasional lainnya, yang sebagian besar telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, yaitu Konvensi melawan Penyiksaan (Convention against Torture/CAT) dan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child/CRC).
Mayoritas hak sipil dan politik tersebut juga dinyatakan di dalam UUD 1945, dan juga UU No.39/1999 tentang HAM. Lebih lanjut, terkait hak atas akses keadilan, Indonesia telah mengesahkan UU Bantuan Hukum (UU No.16/2011) yang telah dilaksanakan secara resmi sejak 2013. UU tersebut menetapkan bantuan hukum sebagai hak dan menjamin hak atas bantuan hukum gratis bagi orang miskin.
Indonesia masih berjuang menyelesaikan berbagai isu terkait perlindungan hak sipil dan politik warganya. Terkait hak untuk hidup, selain dari praktik hukuman mati yang masih berjalan, kematian akibat penggunaan kekuatan berlebihan juga masih terjadi, khususnya di wilayah konflik seperti Papua.[1] Komnas HAM juga melaporkan bahwa pada 2016 saja terdapat 230 laporan pelanggaran hak untuk hidup.[2] Lebih lanjut, penyiksaan masih sering dipraktikkan oleh aparat penegak hukum. Pada 2016, Komnas HAM menerima 142 laporan tentang penyiksaan.[3]
Lebih lanjut, di sektor peradilan, Indonesia juga masih menghadapi masalah terkait akuntabilitas dalam sistem peradilannya. World Justice Index 2015 memberikan nilai 0,37 bagi sistem peradilan pidana Indonesia, sementara sistem peradilan perdata sedikit lebih baik, yaitu 0,47, dari skala 0,00 sebagai nilai terendah dan 1,00 sebagai nilai tertinggi. Kondisi ini menunjukkan kebutuhan Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan sistem peradilan untuk memperkuat akses keadilan bagi semua orang.
[1] Menurut Human Rights Watch, terdapat setidaknya 11 orang terbunuh di Papua pada 2015 akibat penggunaan kekuatan berlebihan oleh apart keamanan/militer. Lihat Human Rights Watch, World Report 2015, 2016, tersedia di: https://www.hrw.org/world- report/2016/country-chapters/indonesia
[2] Komnas HAM, REKAP DATA PENGADUAN KOMNAS HAM TAHUN 2016, tersedia di: https://www.komnasham.go.id/files/20170117-data-pengaduan-tahun-2016-$P5WKG.pdf
[3] Ibid.
Target Global | Target Nasional | Indikator Nasional |
16.1 Mengurangi segala bentuk kekerasan dan tingkat kematian terkait kekerasan secara signifikan di mana pun. | 1. Meningkatkan upaya untuk menopang pembangunan sosial melalui strategi (iv), mengendalikan kekerasan terhadap anak, perkelahian, kekerasan domestik; (vi) meningkatkan keamanan yang tercermin pada rendahnya jumlah konflik horizontal dan kejahatan (Book II, chapter 1.1.1.3). | Tidak tersedia. |
16.2 Mengakhiri pelecehan, eksploitasi, perdagangan anak dan segala bentuk kekerasan dan penyiksaan terhadap anak. | 1. Tersedianya perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan dan perilaku buruk lain dengan mengoptimalkan mekanisme pencegahan, penanganan dan rehabilitasi bagi anak, perempuan dan kelompok marjinal (Book I, chapter 6.4.6);
2. Menguatnya sistem perlindungan anak, termasuk upaya untuk melindungi anak dari kekerasan, eksploitasi, pengabaian dan penganiayaan lainnya (Book II, chapter 2.2.10). |
Penurunan jumlah kekerasan terhadap anak dari 38,62% (untuk anak laki-laki) dan 20,48% (untuk anak perempuan) (sumber: Book II, page 2-74). |
16.3 Mempromosikan supremasi hukum di tingkat nasional dan internasional dan menjamin akses keadilan yang setara bagi semua. | Perwujudan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia melalui legislasi, penegakan HAM, penyediaan dan layanan bantuan hukum bagi kelompok miskin dan marjinal, serta aparat penegak hukum yang memiliki perspektif HAM dan tanggap Gender yang baik (Book I, chapter 6.4.1 & Book II, chapter 7.2.1 no.3). | a. Target bantuan hukum 2019: 6380 orang, non-litigasi: 7260 kegiatan (II.7M-42);
b. Indeks pembangunan hukum: 75%; c. Jumlah pos layanan hukum untuk memberikan akte lahir bagi orang miskin: 359; d. Jumlah pengadilan luar ruangan (outdoor trial) dan orang yang menerima pembebasan biaya pengadilan: 15.981. |
16.4 Pada 2030, mengurangi secara signifikan aliran transaksi keuangan dan senjata terlarang, memperkuat pemulihan dan mengembalikan aset curian dan melawan segala bentuk kejahatan terorganisasi. | 1. Perwujudan kepemimpinan dan peran Indonesia dalam kerja sama internasional melalui:
(a) Penguatan peran Indonesia dalam menangani kejahatan terorganisasi transnasional; (b) Pelaksanaan kerja sama internasional untuk memecahkan isu global yang mengancam manusia, termasuk penyakit infeksi, perubahan iklim, distribusi senjata ringan dan obat-obatan ilegal (Book II, chapter 5, page: 5-43). |
Persentase keberterimaan posisi Indonesia di forum multilateral terkait isu keamanan internasional, senjata pemusnah massal dan senjata konvensional, kejahatan dan terorisme transnasional. |
16.5 Mengurangi korupsi dan sogokan secara signifikan dalam segala bentuknya. | Peningkatan efektivitas pencegahan dan penghapusan korupsi (Book I, 6.4.2 dan Book II, 7.2.1) | a. Indeks perilaku anti korupsi dari 3,6 menjadi 4 (2019);
b. Penegakan UU anti korupsi meningkat 20%. |
16.6 Mengembangkan lembaga yang efektif, akuntabel dan transparan di seluruh tingkatan. | – Peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam seluruh proses tata kelola dan pembangunan (Book I, chapter 6.2.3 dan Book II, chapter 7.2.2).
– Layanan birokrasi berkualitas baik melalui a) penguatan pengelolaan kelembagaan dan layanan; dan b) pembangunan kapasitas kinerja layanan publik (Book II, chapter 7.3.2, page 7-41). |
1. Status opini tak berkualifikasi (WTP) tentang laporan keuangan: dari 74 menjadi 95 laporan kementerian pada 2019.
2. Tingkat kemampuan auditor internal pemerintah (APIP): dari 1 menjadi 3 pada 2019. 3. Tingkat kinerja sistem audit internal pemerintah (SPIP): 1 pada 2019. 4. Kinerja akuntabilitas lembaga pemerintah (SAKIP): 85 kementerian/lembaga pada 2019. 5. Penggunaan e-procurement: dari 60,24% menjadi 80% pada 2019. 6. Persentase lembaga pemerintah yang mencapai nilai baik dalam Indeks Reformasi Birokrasi: 75 kementerian/lembaga. 7. Indeks profesionalisme PNS: dari 76 menjadi 86. 8. Indeks e-government nasional: dari 2,66 menjadi 3,4 pada 2019. 9. Indeks Integritas Nasional: dari 7,22 menjadi 9 pada 2019. 10. Survei kepuasan publik: dari 80% menjadi 95% pada 2019. 11. Persentase kepatuhan pelaksanaan UU Layanan Publik: dari 64 kementerian dan 15 lembaga menjadi 100 pada 2019. |
16.7 Menjamin pengambilan keputusan yang responsif, inklusif, partisipatif dan representatif di seluruh tingkatan. | – Menjamin dan memenuhi hak sipil, hak politik dan kewajiban bagi masyarakat, serta peningkatan keterwakilan politik perempuan (Book II, 5.2.1 & 5.3.1).
– Menjamin hak sipil dan pemenuhan hak politik masyarakat dan keterbukaan informasi publik melalui strategi peningkatan partisipasi publik dalam proses pembuatan kebijakan, program kebijakan publik, pengambilan keputusan publik dan alasan di balik keputusan publik (Book II, chapter 5.2.1). |
– Indeks kebebasan sipil: 87 pada 2019.
– Indeks hak politik: 68 pada 2019. – Keterwakilan perempuan dalam partai politik: 30% pada 2019. |
16.8 Memperluas dan memperkuat partisipasi negara-negara berkembang dalam lembaga-lembaga tata kelola global. | a. Peningkatan peran Indonesia di tingkat global;
b. Peningkatan peran dan kepemimpinan Indonesia di tingkat regional ASEAN; c. Peningkatan peran dan kepemimpinan Indonesia di G-20 Global dan APCE tingkat global (Book II. 6.1.6). |
a. Persentase penerimaan Indonesia di forum multilateral: 84% pada 2019;
b. Persentase kepemimpinan Indonesia di forum multilateral: 78% pada 2019. |
16.9 Pada 2030, memberikan identitas hukum bagi semua, termasuk akte lahir. | Pencapaian peningkatan jangkauan dan pengembangan registrasi vital terintegrasi (Book II, chapter 2.3.1, point 7). | a. Jangkauan layanan dasar untuk kepemilikan akta lahir untuk 40% populasi berpendapatan rendah; dari 64,6% (2015) menjadi 77,4% pada 2019 (Book II, Chapter I, Page 1-70);
b. Pembebasan biaya pengadilan di pengadilan agama untuk mendapatkan surat nikah untuk memfasilitasi penerimaan akta lahir; 15.981 pada 2019 (Matrix II 2M-5); c. Persentase anak yang memiliki akta lahir: 85% (Matrix II 2M-16). |
16.10 Menjamin akses publik kepada informasi dan melindungi kebebasan fundamental sesuai dengan legislasi (perundang-undangan) nasional dan perjanjian internasional. | 1. Perwujudan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM melalui legislasi, penegakan HAM, penyediaan bantuan dan layanan hukum bagi masyarakat miskin dan marjinal, serta aparat penegak hukum dengan perspektif HAM dan responsivitas Gender yang baik (Book II, chapter 7.2.1).
2. Pencapaian strategis penegakan demokrasi dan HAM di tingkat domestik (Book II, chapter 5.2.2); 3. Peningkatan keterbukaan informasi dan komunikasi publik dan peningkatan akses informasi publik (Book II, chapter 5.21 dan chapter 5.3.1). |
a. Jumlah tuduhan pelanggaran HAM yang ditangani dan dikomunikasikan: 320 laporan per tahun;
b. Jumlah tuduhan pelanggaran HAM aktual yang ditangani: 120 laporan per tahun; c. Persentase pertanyaan dan rekomendasi yang ditindaklanjuti terkait isu kekerasan terhadap perempuan, perlindungan HAM perempuan, persentase sistem ganti rugi (reparatif) yang dikembangkan untuk korban pelanggaran HAM: 20% per tahun; d. Jumlah pelanggaran HAM berat yang diatasi (Matrix II.7.M. page.33-43). e. Persentase lembaga publik yang melaksanakan ketentuan Keterbukaan Informasi Publik: 80% lembaga. f. Jumlah peraturan dasar tentang penyebarluasan dan pembagian (paritas/keseimbangan): 6 peraturan. g. Persentase akses publik ke media: 90%. |
16.a Memperkuat lembaga-lembaga nasional yang relevan, termasuk melalui kerja sama internasional, untuk membangun kapasitas di seluruh tingkatan, khususnya di negara berkembang, untuk mencegah kekerasan serta melawan terorisme dan kejahatan. | 1. Peningkatan promosi dan percepatan demokrasi dan HAM melalui penegakan demokrasi dan HAM domestik dan memperkuat koordinasi di kalangan pemangku kepentingan (Book II, chapter 5.2.2 dan 5.3.2);
2. Perwujudan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM melalui legislasi, penegakan HAM, penyediaan dan layanan bantuan hukum bagi kelompok miskin dan marjinal, serta aparat penegak hukum dengan perspektif HAM dan responsivitas gender yang baik (Book II, chapter 7.2.1). |
|
16.b Mempromosikan dan menegakkan undang-undang dan kebijakan non-diskriminatif demi pembangunan berkelanjutan. | 1. Perwujudan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM melalui legislasi, penegakan HAM, penyediaan dan layanan bantuan hukum bagi kelompok miskin dan marjinal, serta aparat penegak hukum dengan perspektif HAM dan responsivitas gender yang baik (Book II, chapter 7.2.1). | a. Indonesian democracy index (IDI):
b. Peningkatan jumlah penanganan laporan pelanggaran HAM: 7000 laporan ditangani pada 2019 (Matrix II.7M-34). |
[1] Bappenas, Zero Draft: PEDOMAN TEKNIS PENYUSUNAN RENCANA AKSI PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (RAN TPB), 2016, tersedia di: http://sdgsindonesia.or.id/index.php/bonus-pages/item/76-zero-draft-pedoman-teknis-penyusunan-rencana-aksi-pembangunan-berkelanjutan-ran-tpb?start=1390
Mengingat penurunan tingkat kekerasan dan kematian akibat kekerasan sangat terkait dengan pemenuhan hak untuk hidup, penting untuk memonitor kemajuan target 16.1 dengan menetapkan indikator-indikator yang dapat mencerminkan kondisi keamanan dan keselamatan yang dinikmati oleh setiap orang di seluruh daerah di Indonesia.
Namun, meskipun Pemerintah Indonesia telah meratifikasi CAT sejak 1998 dengan diadopsinya UU No.5/1998, Indonesia masih belum menetapkan penyiksaan sebagai tindakan yang dapat dihukum. Hal ini telah menyebabkan masih menyebarluasnya penggunaan siksaan oleh aparat penegak hukum maupun anggota TNI. Karenanya, penting untuk memprioritaskan pengadopsian legislasi yang menetapkan penyiksaan sebagai tindakan yang dapat dihukum serta menghapuskan kekebalan hukum pelaku penyiksaan.
Target Global | Target Nasional | Indikator Nasional | Usulan Indikator PBHAM |
16.1 Mengurangi secara signifikan segala bentuk kekerasan dan kematian terkait kekerasan di mana pun. | 1. Meningkatkan upaya-upaya untuk menopang pembangunan sosial melalui strategi (iv), mengendalikan kekerasan terhadap anak, perkelahian, kekerasan domestik; (vi) meningkatkan keamanan yang tercermin dari rendahnya jumlah konflik horizontal dan kejahatan (Book II, chapter 1.1.1.3). | Tidak tersedia. | – Sangat disarankan agar Pemerintah Indonesia memasukkan Indikator-Indikator Global berikut untuk melindungi hak hidup dan keamanan pribadi setiap warganya:
– Jumlah korban pembunuhan berencana per 100.000 populasi berdasarkan jenis kelamin dan usia; – Kematian terkait konflik per 100.000 populasi berdasarkan jenis kelamin, usia dan penyebab; – Proporsi populasi yang menjadi korban kekerasan fisik, psikologis atau seksual dalam 12 bulan ke belakang; – Proporsi populasi yang merasa aman berjalan sendirian di wilayah tempat tinggal mereka. |
16.2 Mengakhiri pelecehan, eksploitasi, perdagangan anak dan segala bentuk kekerasan dan penyiksaan terhadap anak. | 1. Tersedianya perlindungan dari berbagai kekerasan dan perbuatan jahat lain dengan mengoptimalkan mekanisme preventif, penanganan dan rehabilitatif bagi anak, perempuan dan kelompok marjinal (Book I, chapter 6.4.6);
2. Penguatan sistem perlindungan anak, termasuk upaya untuk melindungi anak dari kekerasan, eksploitasi, pengabaian dan perilaku buruk lainnya (Book II, chapter 2.2.10). |
1. Sangat disarankan agar Pemerintah Indonesia memasukkan Indikator-Indikator Global berikut untuk melindungi hak setiap orang untuk terbebas dari siksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya:
– Proporsi anak usia 1-17 tahun yang mengalami hukuman fisik dan/atau agresi psikologis oleh pengasuh (caregiver) dalam 1 bulan terakhir; – Proporsi perempuan dan laki-laki muda usia 18-29 tahun yang mengalami kekerasan seksual pada usia 18 tahun. 2. Mengadopsi legislasi yang memasukkan penetapan siksaan, hukuman kejam dan tidak wajar (unusual), serta perlakuan tidak manusiawi sebagai kejahatan yang dapat dihukum. 3. Penghapusan hukuman mati dari pidana pokok di dalam KUHP. |
|
Sumber-sumber data: – Laporan Kepolisian; – Laporan Komnas HAM dan Komnas Perempuan; – Putusan Pengadilan. |